greeting

Selamat datang di web kami
Selamat datang di web kami
Selamat datang di web kami
Selamat datang di web kami

Kamis, 07 Oktober 2010

naska

B A B A K I

Suatu jalan di tengah hutan belantara. Siang hari menuju sore.


Adegan 1
Tampak Ken Arok tidur di suatu tempat yang agak tinggi, sesuatu yang dapat dibayangkan penonton sebagai batu besar atau cabang pohon dan sebangsanya. Tita, sahabat dan pembantu Ken Arok berdiri di suatu tempat sambil mengamati ke arah darimana rombongan pedagang akan datang. Beberapa orang, antara tiga sampai lima orang perampok berada di dekatnya, juga tampak mengawasi dan gelisah.

PERAMPOK I : Tita, bisakah dia tidur seperti itu?

TITA : (TERSENYUM) apa salahnya dia tidur?

PERAMPOK I : Ya, tidak ada salahnya. Tapi rasanya tidak pantas. Orang lain gelisah dan tegang, ia enak-enakan tidur

TITA : Kalau kau takut, kami tidak memaksamu ikut dalam pekerjaan ini.

PERAMPOK I : Kau tahu saya tidak takut.

TITA : Barangkali kau tidak percaya padanya?

PERAMPOK I : (RAGU-RAGU) Tidak juga. Dia begitu terkenal, masa bertindak sembrono.

TITA : (TERSENYUM) Kau tidak akan memahaminya. Dia bukan manusia. Sekarang, tenanglah.


Adegan 2
Kena Arok bangun dan bangkit. Seperti seekor harimau ia menggeliat. Ia berjalan ke arah anak buahnya. Gerakannya memerlihatkan gerakan seekor binatang buas, lembut tapi penuh tenaga. Ia memandang ke arah matahari.

KEN AROK : Dalam beberapa saat mereka akan tiba.

TITA : Bagaimana kau tahu?

KEN AROK : Dari Kediri mereka berangkat subuh. Mereka membawa beban dan gerakan mereka tidak akan cepat. Jadi dalam beberapa saat baru mereka tiba di sini.

TITA : Kau yakin?

KEN AROK : Sudah kucium bau mereka. Sekarang cepat kalian bersembunyi. Aku akan membunuh yang paling kuat di antara mereka. Begitu aku menyerang, kalian langsung menyerang. (PARA PERAMPOK BERSEMBUNYI, KECUALI KEN AROK)

TITA : Arok, sembunyilah kau.

KEN AROK : Tidak. Sembunyilah kalian. (TERDENGAR SUARA ROMBONGAN DATANG, KEN AROK BERDIRI DI TENGAH JALAN)


Adegan 3
Muncul rombongan, terdiri dari para pengawal, pembawa beban dan pengusung tandu tertutup

KEN AROK : Maaf, dapatkah saudara-saudara berhenti sebentar?

PENGAWAL : Ada perlu apa?

KEN AROK : Dapatkah saya bertemu dengan pemimpin pengawal?

Pemp. PENGWL : Saya, ada apa?

KEN AROK : Dapatkah saya bicara pada tuan dia tempat lain? Saya tidak mau membuat seluruh rombongan cemas.

Pemp. PENGWL : Baik, ada apa? Marilah di tempat itu. (MEREKA BERJALAN KE SUATU TEMPAT MENJAUH DARI ROMBONGAN YANG MENUNGGU) Katakanlah, ada apa?

KEN AROK : Ada perampok, tuan.

Pemp. PENGWL : Perampok? Di mana?

KEN AROK : Di sini, tuan. (SAMBIL MENUSUKNYA)

Pemp. PENGWL : Bajingan!!! (MATI)


Adegan 4
Kawan-kawan Ken Arok menghambur dan membunuhi pengawal-pengawal lain. Pembawa beban melarikan diri meninggalkan barang-barang bawaannya. Ken Arok melangkah ke arah tandu, membukanya, lalu menyeret gadis yang berada di dalamnya,membawa ke luar pentas. Kawan-kawan Arok mengumpulkan barang-barang rampasan dengan gembira, dari luar pentas terdengar jeritan gadis yang dibawa Ken Arok.
(BLACK OUT)
B A B A K I I

Di Keraton Kediri. Siang hari.

Adegan 1
Raja Kertajaya dihadap oleh para menteri, pendeta kerajaan, diantaranya Mpu Pamor dan Mpu Sridhara, kedua panglimanya, yaitu Mahisa Walungan dan Gubar Baleman.

KERTAJAYA : Persilahkan Mahisa Taruna masuk. (PENJAGA KE LUAR, LALU KEMBALI MASUK MENGIRINGKAN MAHISA TARUNA) Sekarang bicaralah Mahisa Taruna.

Mh. TARUNA : Ampun beribu ampun, Gusti Prabu. Hamba datang diutus Panglima Nala untuk mohon tambahan prajurit ... ...

KERTAJAYA : Wah! Wah! Kami mengharapkan kau datang membawa berita bahwa kepala Ken Arok berada dalam perjalanan untuk diserahkan pada kami.

Mh. TARUNA : Ampun beribu ampun, Gusti Prabu. Kata Panglima Nala, tambahan seratus prajurit akan cukup untuk menangkap dia, hidup atau mati, dalam seminggu.

KERTAJAYA : Kami tak habis pikir, apa kalian ini mau memadamkan pemberontakan besar atau menangkap seorang perampok?

Mh. TARUNA : Ampun atas kelancangan hamba, Gusti Prabu; tapi Ken Arok bukan perampok biasa.

KERTAJAYA : (MENGEJEK) Kalian cerdik, Mahisa Taruna, kau tutupi ketidakmampuan kalian dengan memuji lawan kalian.

Mh. TARUNA : Kami bersumpah tidak akan pulang sebelum memenggal kepalanya, Gusti Prabu. Namun tanpa tambahan prajurit, kami kawatir kami tidak dapat menangkapnya. Kami sudah tahu tempat persembunyiannya.

KERTAJAYA : (MENGEJEK) Dari dulu kalian tahu tempat persembunyian- nya, bukan? Mula-mula kalian mengepungnya di Kabalon, kalian gagal. Dia lolos ke Desa Tugaran; kalian berbondong-bondong ke sana dengan segala perbekalan dan persenjataan; ia menghilang dan muncul kembali di Gunung Pustaka; kalian kejar ke Desa Limbahan, ke Rabut dan akhirnya ke Desa Panitikan. Sekarang ke mana lagi?

Mh. TARUNA : Dia berada di Gunung Lajar, Gusti Prabu.

KERTAJAYA : Nah, tangkap dan bawa kepalanya ke sini kalau kalian tahu ia berada di sana.

Mh. TARUNA : Ampun beribu ampun, Gusti Prabu, tanpa tambahan prajurit seratus orang, kami kawatir pengepungan akan gagal kembali.

KERTAJAYA : Kami tidak bersedia memberikan tambahan prajurit. Kerahkanlah para petani untuk membantu kalian.

Mh. TARUNA : Gusti Prabu, para petani tidak berani lagi membantu kami.

KERTAJAYA : (TERTEGUN) Tidak berani? Sudahkah rakyat Kediri menjadi pengecut semua?

Mh. TARUNA : Penghulu Tugaran yang dengan penuh semangat mengabdi kepada Gusti Prabu dan mengerahkan warganya, anak gadisnya diculik dan diperkosa Ken Arok. Demikian pula anak seorang penyadap yang menunjukkan tempat persembunyiannya di hutan.

KERTAJAYA : Rakyatku tidak hanya Penghulu Tugaran dan penyadap enau itu!!

MPU PAMOR : Maaf, Gusti Prabu. Hamba memberanikan diri berkata karena menurut pendapat hamba, keadaan sudah sangat buruk. Benar kata Mahisa Taruna, bahwa Ken Arok adalah perampok yang luar biasa. Ia tidak hanya berhasil menakut-nakuti rakyat yang setia kepada Gusti Prabu, tapi Bahkan ... ... ...

KERTAJAYA : Bahkan apa?

MPU PAMOR : Dia berhasil membuat banyak rakyat Gusti Prabu memihak kepadanya. (KERTAJAYA TERTEGUN)

Mh. TARUNA : Apa yang dikatakan Mamanda Pendeta benar belaka, Gusti Prabu. Itulah sebabnya sangat sukar bagi kami menangkapnya. Ken Arok berada di kampung-kampung seperti ular berada di semak berduri, Gusti Prabu.

KERTAJAYA : Binatang apapun dia, tidak ada alasan bagi kalian untuk mempergunakannya untuk menutupi kelemahan kalian.

MPU PAMOR : Gusti, pasukan Gusti Prabu adalah pasukan terpuji yang disegani di Bumi Jawa. Namun Ken Arok berhasil menyesatkan banyak dari rakyat Gusti Prabu dengan memanfaatkan keresahan mereka sekitar masalah pajak, Gusti Prabu.
Mh. TARUNA : Perkataan Mamanda Pendeta benar semata, Gusti Prabu.

KERTAJAYA : (TERTEGUN SEJENAK, LALU BICARA KEPADA MAHISA TARUNA) Perwira, bukanlah urusanmu hal-hal yang berhubungan dengan pajak dan pemerintahan.

Mh. TARUNA : Ampun beribu ampun, Gusti Prabu.

MPU PAMOR : Maaf, Gusti Prabu, maksud hamba hanya memberikan keterangan dari hati yang tulus.

KERTAJAYA : Mamanda, terima kasih atas keterangan itu. Akan tetapi yakinlah, bahwa dalam mengatur pajak dan pemerintahan umumnya, kami telah dipersiapkan dalam masa pendidikan yang bertahun-tahun.

MPU PAMOR : Gusti Prabu, hamba sama sekali tidak menyinggung-nyinggung kebijaksanaan Gusti Prabu yang berada di luar hak hamba.

KERTAJAYA : Kami tidak tersinggung, Mamanda, kami pun tidak berkeberatan Mamanda berbicara secara langsung tentang tugas-tugas yang berhubungan dengan Darma Ksatrya. Namun sebaliknya, kami harap Mamanda tidak tersinggung kalau kami menyatakan, bahwa kalau ada rakyat kami yang memihak kepada perampok dan pemerkosa itu, hal itu di antaranya disebabkan oleh terbengkalainya tugas Mamanda dan kaum Brahmana umumnya. Janganlah heran kalau ada warga Kediri yang berkata: “Mengapa Ken Arok jadi perampok dan pemerkosa, padahal di Kediri terdapat pendeta-pendeta terkenal yang bertugas mendidik rakyat ke arah kebaikan? Bukankah sebagian pajak yang dibayarkan rakyat diserahkan kepada para pendeta, agar para pendeta dapat melaksanakan tugas mendidik rakyat dengan tenteram? ”.

MPU PAMOR : Maaf, beribu maaf, kalau perkataan Mamanda tadi tidak tepat, Gusti. Sudi apalah Gusti menganggap Mamanda tidak pernah mengatakannya.

KERTAJAYA : Mamanda tidak perlu minta maaf. Kata-kata itu Mamanda ucapkan dari hati yang tulus. Artinya, dengan ketulusan yang sama Mamanda akan bersedia membantu kami sesuai dengan dharma kaum Brahmana. Mamanda kami persilahkan berangkat mencari Ken Arok dan kawan-kawannya; kami beri waktu Mamanda untuk mendidiknya hingga jadi warga Kediri yang baik, ya, selama tiga bulan. Seandainya Mamanda tidak berhasil melaksanakan tugas itu, seandainya dharma kaum Brahmana tidak terpenuhi, kami tidak berkeberatan menerima Mamanda kembali ke istana, akan tetapi bukan sebagai kaum Brahmana, melainkan sebagai warga kerajaan biasa saja. Oleh karena itu kami menuntut agar Mamanda semua menyembah kami, kecuali kaum Brahmana. Akan tetapi kaum Brahmana yang gagal melaksanakan dharmanya bukanlah Brahmana, oleh karena itu wajib menyembah kepada kami.

Mh. WALUNGAN : Kakanda.

KERTAJAYA : Diamlah Mahisa Walungan. (KEPADA PARA PENDETA)
Mamanda semua jangan mengecewakan kami; janganlah mencoba-coba main kucing-kucingan dengan Kertajaya. Kami yakin, Mamanda semua terlalu bijaksana untuk itu; Mamanda cukup memahami, bahwa Kertajaya terlau kuat untuk Mamanda semua. Hanya Betara Guru, sekali lagi Hanya Betara Guru yang dapat mengalahkan Kertawijaya.

Mh. WALUNGAN : Kakanda.

MPU PAMOR : Diamlah, Mahisa Walungan. (KEPADA MAHISA TARUNA)
Perwira, sampaikan kepada Panglima Nala, bahwa prajurit diizinkan kembali ke ibukota untuk beristirahat. Tugas akan diambil alih oleh para pendeta. (kepada mahisa walungan dan gubar baleman) Mari kita pergi, kita sudah terlalu lama di sini (PERGI).


Adegan 2

Mh. TARUNA : Apa yang telah terjadi? Dapatkah saya mempercayai telinga saya?

MPU PAMOR : Karena lidahku terpeleset, roda sejarah berputar entah ke arah mana. Wahai Betara Raya!

MPU SRIDHARA : Mungkin ini kehendak Sang Betara.

MPU PAMOR : Kita harus berusaha melunakkan hati beliau. Tentu tidak sekarang. Api sedang berkobar-kobar, dan yang mendekat akan hangus terbakar.

Mh. TARUNA : Mamanda semua, hamba mohon diri. Ah, betapa akan kebingungan Panglima Nala menerima perintah yang aneh ini.

MPU SRIDHARA : Panglima Nala tidak bingung sendiri, anakku. Berangkatlah semoga kau selamat. (MAHISA TARUNA PERGI)

MPU PAMOR : Kita harus memikirkan, bagaimana kita mengatasi masalah ini.

MPU SRIDHARA : Jangan terlalu berkecil hati. Siapa tahu peristiwa ini justru merupakan awal kesempatan bagi kita untuk memecahkan masalah yang sesungguhnya.

MPU PAMOR : Saya sungguh prihatin, mengapa saya harus memojokkan kita semua ke keadaan seperti ini.

MPU SRIDHARA : Tenanglah.

MPU PAMOR : Kalau dalam tiga bulan kita tidak mampu menghentikan Ken Arok berarti kaum Brahmana celaka.

MPU SRIDHARA : Atau Kertajaya yang berakhir?

MPU PAMOR : Apa maksudmu?

MPU SRIDHARA : Kita akan mengirim utusan ke Jambudwipa. Kita mohon Mamanda Lohgawe sudi berkunjung ke Bumi Jawa. Sekarang, marilah kita tinggalkan tempat ini. (MEREKA PERGI DENGAN PENDETA-PENDETA LAIN)


Adegan 3
Kertajaya, Mahisa Walungan dan Gubar Baleman muncul kembali dan memandang ke arah pendeta pergi.

Mh. WALUNGAN : Asal tidak Kakanda laksanakan dalam keadaan marah saja.

KERTAJAYA : Sudah sejak lama kupikirkan, Walungan. Menurutku tindakan ini sekaligus akan mencapai tiga sasaran. Pertama, kaum Brahmana akan terjaga dari kelaliannya dan sadar akan tanggung jawabnya; kedua, kesadaran ini diharapkan akan menempatkan mereka kembali pada kedudukannya yang tepat; ketiga, mereka akan menyadari bahwa tugasku sebagai raja dan dharma Ksatrya tidak seringan seperti yang sering mereka hinakan.

Mh. WALUNGAN : Tapi bagaimana dengan Ken Arok? Bukankah dengan dipanggilnya Panglima Nala pulang, rakyat, khususnya rakyat Tumapel akan sangat menderita?

KERTAJAYA : (TERTAWA) Percayakah engkau bahwa aku akan memanggil Nala?

Mh. BALEMAN : Gusti Prabu mengatakannya kepada Mahisa Taruna.
KERTAJAYA : Saya tidak pikun, Walungan, Gubar. Mereka akan kembali ke sini, akan tetapi pasukan lain akan kita kirim untuk melindungi Tumapel. Panglima Nala sudah bekerja dengan cukup baik, tapi para pendeta itu kerjanya cuma tidur di atas karung-karung hasil bumi yang mereka terima sebagai pajak.

Mh. WALUNGAN : Saya tahu sekarang, semua ini sandiwara belaka!
(BLACK OUT)








































B A B A K I I I

Di suatu tempat di Tumapel. Siang hari.


Adegan 1
Mpu Pamor dan Mpu Sridhara duduk di satu tempat dikelilingi pendeta-pendeta lain. Mereka sedang menunggu seseorang.

MPU PAMOR : Adakah kemungkinan surat itu tidak sampai?

MPU SRIDHARA : Telah ku usahakan segalanya agar utusan tidak mendapat hambatan. Kita telah menyediakan biaya untuk dua orang pengawal bersenjata selama di jalan darat.

MPU PAMOR : Mungkinkah timbul persoalan dari pihak raja?

MPU SRIDHARA : Itulah yang harus lebih kita kawatirkan. Dari sikapnya, kebijakan-kebijakannya, tindakan-tindakannya dan terakhir dari tantangannya kepada kita jelaslah bagiku, bahwa Kertajaya bermaksud mengesampingkan golongan kita. Itu adalah bentuk kemurtadan yang tidak alang kepalang tanggung. Makanya saya tidak setuju dengan pendapatmu, bahwa tindakannya yang terakhir hanya didorong kemarahan. Tidak. secara berencana ia akan melenyapkan golongan kita.


Adegan 2
Muncul pembawa berita.

Pmbw. BERITA : Mamanda, rombongan Pendeta Agung Lohgawe sudah tampak. Mereka sedang mendaki tebing menuju ke sini.

MPU PAMOR : Syukurlah.

MPU SRIDHARA : Rapikan tempat duduk bagi beliau.


Adegan 3
Muncul pendeta Lohgawe dengan dua orang pengiringnya. Semua memberi hormat.

MPU SRIDHARA : Selamat datang di wilayah Tumapel. Semoga Sang Betara melindungi anda dan rombongan.

LOHGAWE : Demikian pula sebaliknya. (MEREKA DUDUK) Baiklah, semoga keluarga kalian baik-baik pula. Karena masalahnya terasa penting, kita perlu mendahulukan pembicaraannya. Lain-lain di belakang.

MPU SRIDHARA : Benar, Maharsi.

LOHGAWE : Baiklah. Surat kalian yang panjang lebar telah kupelajari. Tampaknya masalahnya sungguh-sungguh juga. Itulah sebabnya kami tak sabar untuk bertemu dengan kalian.

MPU SRIDHARA : Kami lebih tak sabar lagi Maharsi.

LOHGAWE : Kalau kami tak salah paham, Kertajaya bermaksud menghalangi dharma kaum kita di tengah-tengah rakyatnya.

MPU SRIDHARA : Dari sikap, kata-kata dan tindakannya kami tidak dapat mengambil kesimpulan lain kecuali itu, Maharsi.

LOHGAWE : Rupanya Kertajaya ini sudah benar-benar tersesat. Bukankah keinginannya itu sama artinya dengan melepas salah satu soko-guru alam semesta?

MPU SRIDHARA : Itulah sebabnya kami menyampaikan surat kepada Maharsi.

LOHGAWE : Adakah di antara leluhurnya yang memiliki kecenderungan kuat ke arah yang sama? Maksudku, kecenderungan untuk tidak menyukai kaum kita?

MPU SRIDHARA : Perselisihan antara kaum kita dengan kaum Ksatrya terjadi dari waktu ke waktu. Hal itu wajar saja, menurut pikiran kami. Namun dengan Kertajaya lain halnya. Secara berencana dia menggerogoti wibawa kaum kita. Mula-mula di antara para satria yang muda-muda, kemudian di lingkungan yang lebih luas. Pernah seorang di antara kami mendengar dia berkata: “Lihat para Brahmana,” katanya: “Mereka menyanyi di kuil dan menghabiskan minyak serta hasil pajak kita; sedang kita kadang-kadang harus menghabiskan darah di medan perang dan setelah itu tidak lagi mendapatkan bagian dari pajak. Orang mati tidak perlu makan dan minum,” katanya. Jadi dia mempergunakan tiap kesempatan untuk mengecilkan arti tugas para Brahmana dan menonjolkan dharma Ksatrya. Itulah sebabnya kami beranggapan, bahwa tindakannya yang terakhir kepada kami bukanlah suatu kebetulan.

LOHGAWE : Apakah dia juga menyebarkan Wiracarita Mahabarata dan Ramayana?

MPU PAMOR : Sejauh pengetahuan kami, beliau senang sekali dibacakan cerita itu. Biasanya pada malam hari di pendapa, setelah upacara paseban, ketika para ksatria dan wakil-wakil rakyat berkumpul di istana. Dalam kesempatan seperti itu dibeberkan pula lukisan yang menggambarkan kejadian-kejadian dalam cerita.

LOHGAWE : Jelas.

MPU SRIDHARA : Jelas bagaimana, Maharsi?

LOHGAWE : Ia berusaha menyebarkan kedua wiracarita itu.

MPU PAMOR : Menurut pendapat kami, beliau tidak menyebarkannya, Maharsi. Tampaknya beliau menyukai kedua wiracarita itu.

LOHGAWE : Kalian tidak melihat hubungan yang lebih dalam. Tindakannya menyelenggarakan pembacaan kedua wiracarita di depan khalayak adalah bukti adanya persekongkolan semesta. Siapa tahu di belakang kalian Kertajaya telah mengadakan hubungan yang lebih daripada erat dengan kaumnya yang ada di Jambudwipa. Pamor, Sridhara, ketahuilah, bahwa kaum Ksatrya secara sadar dan berencana berusaha menggerogoti wibawa kita dengan berbagai cara, diantaranya melalui kedua wiracarita itu. Tidakkah kalian sadar, betapa kecilnya peran kaum Brahmana dalam kedua wiracarita itu dan betapa menojolnya peran kaum Ksatrya sebagai penopang soko-guru alam semesta?

MPU SRIDHARA : Wahai, betapa jelasnya hubungan itu!

MPU PAMOR : kami sama sekali tidak mendapat kesan bahwa beliau melakukan sesuatu di luar penghiburan diri, Maharsi.

LOHGAWE : Kau terlalu murni, terlalu baik, terlalu kekanak-kanakan, Pamor. Kau seharusnya melihat hubungan yang jelas antara acara pembacaan wiracarita itu dengan kehendaknya disembah oleh kalian.

MPU SRIDHARA : Wahai, seharusnya kami menyadari hal ini dari dulu.

LOHGAWE : Sekarang belum terlambat, Sridhara.

MPU SRIDHARA : Apakah kiranya yang harus kami lakukan, Maharsi.

LOHGAWE : Sekarang, jelaskanlah dulu kepadaku tentang dua orang yang ingin kuketahui, yaitu tentang Ken Arok dan Tunggul Ametung yang telah berbaik hati kepada kalian.

MPU SRIDHARA : Asal-usul Ken Arok tidak keruan, Maharsi. Sebagai bayi ia ditemukan di kuburan lalu dipungut anak oleh seorang pencuri bernama Lembong, orang Desa Pangkur. Ketika tumbuh menjadi anak-anak mulai pandai mencuri dan berjudi. Tak ada ternak, barang atau uang yang aman dari tangannya yang panjang. Begitu parahnya ia keranjingan berjudi, hingga akhirnya ia tidak saja menghabiskan harta ayah-pungutnya, akan tetapi bahkan menjual kerbau majikannya. Ketika berangkat remaja ia tidak saja mencuri, akan tetapi merampok dan lebih daripada perampok lain, ia biasa memperkosa. Nyawa orang seperti tidak ada harganya bagi dia. Sedikit tersinggung ia cepat mencabut keris dan membunuh orang, misalnya di Kabalon. Akhirnya Prabu Kertajaya memerintahkan pasukan Kediri memburu dan menangkapnya. Akan tetapi terbukti bahwa dia sangat licin.

MPU PAMOR : Dan sama sekali biadab.

MPU SRIDHARA : Karena prajurit Kediri tidak berhasil menangkapnya, rakyat yang merasa tidak aman – yang hartanya, anak gadisnya dan bahkan nyawanya terancam, akhirnya mengadakan persetujuan diam-diam dengannya. Mereka membiarkan Ken Arok dan kawan-kawannya membuka tempat perjudian dan pelacuran di tepi hutan di daerah Tumapel ini, dan rakyat bukan saja pura-pura tidak tahu, akan tetapi tidak berani melaporkannya kepada prajurit Kediri. Sekarang dia berada di tempat itu dengan ayah pungutnya yang kedua, penjudi kawakan bernama Bango Samparan.

LOHGAWE : Tampaknya orang itu memang luarbiasa.

MPU PAMOR : Dia seekor ular berbisa, Maharsi.

LOHGAWE : Sekarang tentang Tunggul Ametung.

MPU SRIDHARA : Akuwu Tumapel ini orang baik-baik. Sudah barang tentu sebagai manusia ia punya kelemahan. Istrinya, Ken Dedes, tidak dinikahinya secara wajar. Tunggul Ametung menculiknya dari tempat ayahnya di Desa Panawijen. Ia berusaha menebus kesalahannya dengan menghormati ayah Ken Dedes, seorang Pendeta Buddha yang bernama Mpu Parwa, walaupun orang tua itu tampaknya belum bersedia mengampuni.

LOHGAWE : Baiklah tentang itu semua, tapi bagaimana hubungannya dengan masalah kita? Misalnya, mengapa dia demikian baik terhadap kalian dan membiarkan tempat ini dijadikan tempat pertemuan di luar pengetahuan dan mungkin di luar persetujuan Kertajaya?

MPU PAMOR : Seperti kami, dia kena murka Sang Prabu, Maharsi. Lebih sering kena murka, karena kebetulan Ken Arok melakukan kerusuhan di wilayah Tumapel.

MPU SRIDHARA : Di samping itu, Maharesi, Tumapel adalah daerah yang luas dan kaya. Penduduknya banyak, dan sangat hormat kepada akuwunya. Siapa tahu Tunggul Ametung dalam hati kecilnya mengharapkan sesuatu dari kita.

LOHGAWE : Betul, betul. Saya paham sekarang. Ada satu pertanyaan: “Apakah Tunggul Ametung seorang yang bijaksana?”.

MPU SRIDHARA : Maksud Maharsi?

LOHGAWE : Apakah dia memberikan penghargaan yang sama pada pedang dan suluh? Apakah harkat Ksatrya dihargainya tanpa menghinakan Brahmana?

MPU SRIDHARA : Sedikitpun ia tidak pernah menghinakan kami, Maharsi.

MPU PAMOR : Tampaknya dia orang baik dan dapat diyakinkan, bahwa Ksatrya tanpa Brahmana adalah buta, dan Brahmana tanpa Ksatrya adalah lemah.

LOHGAWE : Kita akan bertemu dengan Tunggul Ametung kemudian dengan Ken Arok.

MPU PAMOR : Dengan Ken Arok?

LOHGAWE : Mengapa tidak?

MPU PAMOR : Dia seekor ular, ular berbisa, Maharsi.

LOHGAWE : Serahkan ke tanganku, Pamor.

MPU PAMOR : Bagaimana rencana Maharsi?

LOHGAWE : Kita akan melempar tiga ekor burung dengan sebuah batu, dan untuk ketiga ekor burung itu kita sudah mendapat umpannya.

MPU SRIDHARA : Kami belum paham, Maharsi.

LOHGAWE : Ingat, kalau dalam dua bulan kita tidak berhasil mencari jalan keluar dari masalah Ken Arok ini, maka kalian akan harus menyembah pada Kertajaya. Jelas, itu adalah malapetaka. Nah, menangkap atau membunuh Ken Arok adalah suatu yang mustahil, seperti kalian tulis dalam surat kalian kepadaku. Tapi itu sebenarnya tidak penting. Kertajaya hanya menginginkan agar rakyatnya tidak diganggu dan pajak-pajak mengalir. Ia tidak mau kehilangan muka dan kehilangan sumber kekayaannya. Kalau kita berhasil memenuhi keinginannya itu, kita akan lolos dari cengkraman masalah ini. Lebih daripada itu, wibawa kita akan naik, bukan saja di mata Kertajaya, akan tetapi di mata rakyat umumnya.

MPU SRIDHARA : Ingin sekali kami mengetahui bagaimana caranya, Maharsi.

LOHGAWE : Marilah kita pergi ke tempat Akuwu Tunggul Ametung.
(BALCK OUT)


































B A B A K I V

Di istana Akuwu Tunggul Ametung. Siang hari.


Adegan I
Hadir Pendeta Lohgawe, Mpu Sridhara, Mpu Pamor, Tunggul Ametung, para pembantu kepercayaan Tunggul Ametung dan prajurit jaga.

Tg. AMETUNG : Benar seperti kata Mamanda,kami di Tumapel ini terjepit. Kami memahami beban warga Tumapel sudah cukup berat, akan tetapi sebagai akuwu, kami adalah abdi Sang Prabu. Berat lidah kami untuk berterus-terang kepada beliau, apalagi kalau beliau sedang murka. Padahal, perlu Mamanda semua mengetahuinya, bahwa banyak diantara mereka yang menjadi perampok dan bergabung dengan Ken Arok justru karena beratnya pajak. Karena panen gagal, misalnya, sedang pajak yang banyak macamnya itu harus tetap dibayar, maka mereka memilih lari ke dalam hutan. Benar pula, bahwa ada diantara mereka yang jadi penjahat akibat senang judi dan foya-foya, akan tetapi orang macam itu dimana-mana juga ada, tidak di Tumapel saja.

LOHGAWE : Dengan demikian jelas, bahwa Ananda senasib dengan kami. Di satu pihak kita merasa lebih paham mengenai masalah yang sebenarnya, di pihak lain kita tidak dapat berterus-terang kepada Sang Prabu.

Tg. AMETUNG : Mamanda mengucapkannya dengan baik sekali.

LOHGAWE : Dan ketika Mpu Pamor ini terpeleset lidah dan berterus-terang, Sang Prabu demikian murkanya hingga mereka terpaksa meninggalkan istana.

Tg. AMETUNG : Sukar untuk dapat dipercaya!

LOHGAWE : Itulah persoalan kita, Ananda. Akan tetapi persoalan kita tidaklah seberat yang ditanggung oleh rakyat Kediri. Benar, bahwa Sang Prabu menuntut kami menyembah pada beliau kalau kami tak menyelesaikan masalah Ken Arok, akan tetapi ... ...

Tg. AMETUNG : Dapatkah saya percaya pada telinga saya? Apakah tadi Mamanda mengatakan, bahwa Sang Prabu menuntut Mamanda menyembah kepada beliau?

LOHGAWE : Benar, Ananda. Rupanya, masalah Ken Arok ini telah mengguncangkan soko-soko guru alam semesta.

Tg. AMETUNG : Wahai Betara Raya! Tapi sebagai akuwu, saya tak berhak mengatakan sesuatu tentang sikap dan kebijaksanaan Sang Prabu.

LOHGAWE : Lupakanlah, Ananda. Tadi Mamanda katakan, bahwa masalah kami, kaum Brahmana, kecil saja dibanding dengan beratnya beban di bahu rakyat Kediri.

Tg. AMETUNG : Mamanda semua terlalu tabah, terlalu tabah!

LOHGAWE : Tapi memang tidak ada yang dapat diperbuat mengenai masalah kami itu. Yang penting ialah bagaimana kita dapat meringankan beban rakyat itu. Untuk membicarakan hal itulah kami datang kesini, Ananda.

Tg. AMETUNG : Kami merasa benar-benar mendapat kehormatan diajak berunding tentang hal itu, Mamanda.

LOHGAWE : Ini untuk kepentingan semua, Ananda. Begini, Ananda,kami ada gagasan, kalau Ken Arok tidak dapat dibunuh, mengapa tidak dijinakkan saja. Kalau seekor ular sanca tidak dapat dicegah membunuh ternak dan manusia, mengapa tidak kita sediakan kambing di depan guanya secara teratur. Nah, dalam keadaan tenang, siapa tahu kita dapat menemukan cara yang terbaik untuk membunuhnya.

Tg. AMETUNG : Dapatkah Mamanda menjelaskan lebih terurai?

LOHGAWE : Mamanda akan berusaha menghubunginya, baru kemudian membuat rencana yang lebih terperinci. Namun pada dasarnya rencana itu sederhana saja. Kita akan memberikan sesuatu yang diinginkannya tanpa terlalu merugikan kita, tapi dia kita tuntut untuk menghentikan kejahatan-kejahatannya.

Tg. AMETUNG : Saya belum dapat mengatakan apa-apa, Mamanda.

LOHGAWE : Ananda adalah pemimpin yang baik. Anada sangat berhati-hati. Mamanda sungguh hormat kepada Ananda. Darah Raja-raja pasti mengalir di urat Ananda. Memang, Ananda tidak usah menentukan sikap sekarang. Yang penting diantara kita sudah ada pengertian, dan Anada sudah bersiap-siap untuk menghadapi perkembangan masalah ini.

Tg. AMETUNG : Tapi Mamanda, menurut berita yang saya terima dan akibat perbuatan-perbuatannya, Ken Arok dapat membahayakan Mamanda.

LOHGAWE : Mamanda mempercayakan keselamatan Mamanda pada Sang Betara.

Tg. AMETUNG : Baiklah, kalau begitu, kami hanya dapat berdoa dan membakar dupa. Sekarang, saatnya tiba untuk beristirahat. (MEMBERI ISYARAT. GONG BERBUNYI DAN BERGEMA)


Adegan 2
Muncul Ken Dedes dengan segala kecantikan dan kegemilangannya diiringkan oleh dayang-dayang.

KEN DEDES : Jamuan telah tersedia, Mamanda semua dipersilahkan pindah ruangan.
(BLACK OUT)


































B A B A K V

Di dalam hutan di daerah Gunung Lejar. Waktu, sembarang.


Adegan 1
Pentas tampak sibuk. Di bagian depan orang-orang minum tuak. Ada yang mabuk, setengah mabuk dengan segala tingkahnya. Bagian tengah orang-orang menari dengan ronggeng merangkap pelacur. Di bagian belakang orang berjudi. Muncul pembawa berita.

Pmbw. BERITA : Paman Bango Samparan mana?

SESEORANG : Di dalam!

Pmbw. BERITA : Katakan ada tamu!

SESEORANG : Kenapa ribut-ribut! Suruh masuk!

Pmbw. BERITA : Ini tamu penting! Pendeta Agung!

SESEORANG : Yang betul?

Pmbw. BERITA : Cepat beri tahu Paman Bango Samparan.

SESEORANG : Kau bermimpi. Pendeta Agung tidak mungkin mencari tasbih di sini. Ia hanya akan menemukan dadu.

Pmbw. BERITA : Kau mabuk, ini sungguh-sungguh!


Adegan 2
Muncul Bango Samparan dengan Tita.

Pmbw. BERITA : Ini dia!

TITA : Ada apa?

Pmbw. BERITA : Beberapa orang pendeta diantaranya Pendeta Agung ingin bertemu dengan Ken Arok.

Bg. SAMPARAN : Heran! Harusnya ada halilintar di siang bolong, pohon beringin runtuh atau gerhana bulan dulu!

TITA : Apa yang dikatakannya kepadamu?

Pmbw. BERITA : Saya sudah mengatakannya. Mereka datang bukan untuk berjudi atau menari.

TITA : (KEPADA BANGO SAMPARAN) Paman, Arok harus diberi tahu.

Bg. SAMPARAN : (KEPADA PEMBAWA BERITA) Suruh mereka pindah ruangan, uangan ini akan dipergunakan untuk sembahyang! (PEMBAWA BERITA MENYURUH ORANG-ORANG PERGI).

TITA : Saya panggil Ken Arok.


Adegan 3
Ruangan kosong tinggal Bango Samparan dan Pembawa Berita.

Bg. SAMPARAN : Persilahkan mereka masuk. (PEMBAWA BERITA KELUAR) Saya sudah tahu, si Arok ini luar biasa. Bayangkan, Pendeta Agung ingin menghadap kepadanya. Bayangkan.


Adegan 4
Muncul Pendeta Lohgawe diiringkan oleh Mpu Sridhara, Mpu Pamor dan beberapa pengiring.

Bg. SAMPARAN : (MENGHORMAT) Selamat datang Mamanda semua. Silahkan duduk. (KEPADA PEMBAWA BERITA) Mamanda semua pasti haus, ambilkan minuman! (PEMBAWA BERITA PERGI).

MPU PAMOR : (KEPADA MPU SRIDHARA) Saya rasa ini salah.

MPU SRIDHARA : Kesalahan Kertajaya lebih besar. Tenanglah.

Bg. SAMPARAN : Saya dengar Mamanda ingin bertemu dengan anak amba, Ken Arok.

LOHGAWE : Benar, mudah-mudahan dia ada.

Bg. SAMPARAN : Sedang dipanggil, Mamanda.

LOHGAWE : Bagus.


Adegan 5
Muncul Ken Arok, tangan kiri dan kanannya memeluk dua orang gadis. Ia diiringkan Tita.

KEN AROK : (KEPADA DUA GADIS) Kijang-kijangku, pergilah dulu. Kalian lihat, ada tamu! Selamat datang, Mamanda.

LOHGAWE : Senang sekali kami dapat bertemu dengan kau, Anakku.

KEN AROK : Tentu ada urusan penting.

LOHGAWE : Kau telah menduganya.

KEN AROK : Baiklah. Akan kita bicarakan sekarang juga?

LOHGAWE : (MEMANDANG KEPADA BANGO SAMPARAN DAN TITA SERTA PARA PENGIRING) Ya, tapi ... ... ...

TITA : Kami sebaiknya meninggalkan ruangan ini supaya pembicaraan lebih tenang. (KEPADA BANGO SAMPARAN DAN PENGIRING) Mari, kita minum di belakang. (MEREKA PERGI)

LOHGAWE : Anakku, kuminta kau berdamai dengan kerajaan.

KEN AROK : Untuk apa?

LOHGAWE : Agar hidupmu lebih tenang, agar pasukan Kertajaya tidak memburu-burumu.

KEN AROK : (TERSENYUM) Bagaimana kalau saya senang diburu-buru?

LOHGAWE : Kau bukan binatang buruan, anakku.

KEN AROK : (TERTAWA) Siapa tahu.

LOHGAWE : Jelas, kau manusia. Sedang manusia memiliki pola kehidupan tertentu, pola kehidupan yang manusiawi. Manusia hidup dalam peradaban.

KEN AROK : Peradaban? Apa itu?

LOHGAWE : Hidup bersama menurut peraturan tertentu yang menguntungkan semua.

KEN AROK : Contohnya?

LOHGAWE : Lihatlah masyarakat kerajaan kita. Kaum Brahmana hidup menurut peraturan sendiri yang menjelaskan tugas dan kewajibannya, demikian juga kaum Ksatrya, kaum Waisya atau Sudara. Kalau tugas dan kewajiban masing-masing golongan dilaksanakan dengan baik, akan senanglah hidup setiap anggota masyarakat kerajaan.

KEN AROK : (TERTAWA) Kalau saya ikut hidup di dalam ... ... apa itu?

LOHGAWE : Peradaban.

KEN AROK : Ya, itu ... ... kalau saya ikut di dalamnya saya akan dibunuh. Saya mendengar orang mengatakan, bahwa saya sudah melakukan semua kejahatan tatayi. Mereka bilang, Kertajaya wajib membunuh saya.

LOHGAWE : Prabu Kertajaya tidak akan berani membunuhmu kalau beliau memahami persoalan sebenarnya.

KEN AROK : Persoalan apa?

LOHGAWE : Persoalan yang berhubungan dengan sebab-sebab sampai kau melakukan perbuatan-perbuatanmu itu.

KEN AROK : (MEMANDANG HERAN KEPADA LOHGAWE) Persoalan apa itu?

LOHGAWE : Kau jangan main-main, anakku, jangan pura-pura.

KEN AROK : Baru pertama kali saya bicara dengan seorang Pendeta Agung. Saya tidak mengerti.

LOHGAWE : Kami datang justru untuk membawa pencerahan padamu.

KEN AROK : Mamanda diutus oleh Prabu Kertajaya?

LOHGAWE : Tidak. kami datang ke sini atas kehendak sendiri.

KEN AROK : Kertajaya tidak akan setuju.

LOHGAWE : Beliau tidak mengetahui.

KEN AROK : Bagaimana saya berdamai dengan kerajaan tanpa Kertajaya mengetahui?

LOHGAWE : Kerajaan bukan Kertajaya. Kerajaan adalah rakyat Kediri. Berdamailah dengan mereka.

KEN AROK : Soal saya adalah pasukan Kertajaya. Rakyat tidak saya perhitungkan.

LOHGAWE : Pasukan Kertajaya tidak akan mengganggumu kalau kau setuju.

KEN AROK : Setuju apa?

LOHGAWE : Kau jadi pengawal pribadi Akuwu Tumapel.

KEN AROK : Apa imbalannya?

LOHGAWE : Pasukan Kertajaya tidak akan mengganggumu lagi.

KEN AROK : Saya tak takut pada pasukan Kertajaya atau pasukan siapapun.

LOHGAWE : Tapi mereka jadi persoalan bagimu, bukan?

KEN AROK : Itu saya bisa menguruskannya.

LOHGAWE : Kau tidak perlu pusing-pusing lagi kalau kau setuju jadi pengawal pribadi Akuwu Tumapel.

KEN AROK : Bagi saya bukan imbalan kalau pasukan Kertajaya tidak menggangu. Gangguan itu tidak memusingkan saya. Saya minta imbalan lain.

LOHGAWE : Katakanlah.

KEN AROK : Satu: Bukan saya sendiri yang jadi pengawal, tapi semua anak buah saya.
Dua: Kerajaan tidak menggangu kegiatan saya di sini.

LOHGAWE : Seandainya imbalan itu disetujui, tidak akan ada lagi gangguan terhadap rakyat Kediri.

KEN AROK : Dari anak buah saya, tidak.

LOHGAWE : Baiklah, anakku, kami akan membicarakannya dengan Tunggul Ametung. Kami harus berangkat sekarang juga. Sekali lagi, kau bersedia tidak mengganggu rakyat Kediri dengan imbalan jadi pengawal pribadi Tunggul Ametung.

KEN AROK : Dengan semua anak buah saya.

LOHGAWE : Ya. Dan kau minta usahamu di sini tidak di ganggu.

KEN AROK : Betul.

LOHGAWE : Baiklah,kami harus segera menghubungi Tunggul Ametung.

KEN AROK : Nanti dulu, Mamanda. Setiap tamu yang datang ke sini harus dijamu.

LOHGAWE : Anakku, kami harus segera kembali ke Tumapel. Kami harus segera menyampaikan berita penting ini dan membicarakannya dengan Akuwu.

KEN AROK : Tingkah laku pendeta paling sukar saya pahami.

LOHGAWE : Kami pamit, anakku.

KEN AROK : Mamanda semua akan dikawal supaya tidak diganggu. (berseru) Penjaga!


Adegan 6
Muncul penjaga (PEMBAWA BERITA)

KEN AROK : Bawa tiga orang kawanmu, kawal para pendeta ke tepi hutan.

Pmbw. BERITA : Baik, Arok. (MEMPERSILAHKAN PARA PENDETA, DAN MEREKA PERGI)

LOHGAWE : Kami akan segera mengirim berita, anakku.

KEN AROK : Bagus. (PARA PENDETA PERGI. KEN AROK TERTAWA DENGAN GELINYA)


Adegan 7
Muncul Bango Samparan dan Tita.

TITA : Ada urusan apa mereka?

KEN AROK : Pendeta itu menyangka bahwa mereka sudah membikin perangkap yang bagus.

Bg. SAMPARAN : Apa yang mereka katakan?

KEN AROK : Kata-kata besar. Omong kosong.

Bg. SAMPARAN : Maksudku, apa yang mereka mau?

KEN AROK : Mereka tidak mau kita merampok. Mereka minta aku menjadi pengawal Akuwu Tumapel.

Bg. SAMPARAN : Kau Mau?

KEN AROK : Dengan syarat!! Saya mau makan. Mana gadis-gadis. Ayo menari lagi! Ambilkan tuakku!
(BLACK OUT)




B A B A K V I

Di Pakuwon Tunggul Ametung. Waktu, sembarang.


Adegan 1
Mpu Pamor dan Mpu Sridhara sedang duduk di ruang pendapa pakuwon.

MPU SRIDHARA : Kau termenung saja, Pamor?

MPU PAMOR : Saya rasa ini salah, Sridhara.

MPU SRIDHARA : Apa yang salah?

MPU PAMOR : Apa yang kita lakukan.

MPU SRIDHARA : Maksudmu?

MPU PAMOR : Kita berunding dengan penjahat, musuh kerajaan, di luar pengetahuan raja.

MPU SRIDHARA : Kesalahan raja lebih besar, Pamor. Meminta kaum Brahmana menyembah padanya adalah kemurtadan. Seperti dikemukakan oleh Maharsi Lohgawe, raja hendak memusnahkan kita, kalau tidak secara jasmaniah, wibawa kita. Itu berarti meruntuhkan soko-guru alam semesta. Semua akan hancur berantakan.

MPU PAMOR : Mungkin dalam hal itu kau benar. Akan tetapi, merangkul penjahat yang telah melakukan semua jenis kejahatan tatayi adalah tidak benar.

MPU SRIDHARA : Bukan merangkul, Pamor. Maharsi Lohgawe memasang perangkap. Kau lihat sendiri, betapa bodoh sebenarnya Ken Arok. Ia jahat karena ia tidak berpendidikan. Dharma kita yang pertama adalah mengajar. Apa salahnya Maharsi Lohgawe mengajar dia dan mengubahnya menjadi orang baik?

MPU PAMOR : Saya mendapat kesan bahwa ia sama sekali tidak bodoh.

MPU SRIDHARA : Mengapa? Tidakkah kau dengar ia bertanya tentang apa artinya peradaban?

MPU PAMOR : Saya dengar. Tapi rasanya kita tidak dapat menyebut seekor harimau atau ular sanca sebagai bodoh. Binatang-binatang buas itu hidup dengan hukum-hukum sendiri. Mereka akan binasa kalau hidup dengan hukum lain. Secara naluri, Ken Arok tahu akan hal itu.
MPU SRIDHARA : Ken Arok bukan seekor harimau atau seekor ular, Pamor.


Adegan 2
Masuk Tunggul Ametung dan Pendeta Lohgawe.

Tg. AMETUNG : Benar, Mamanda, saya dapat memutuskannya. Akan tetapi Kebo Ijo perlu memahami masalah yang kita hadapi.

LOHGAWE : Ananda seorang yang bijaksana dan pandai memelihara hati orang lain.

Tg. AMETUNG : Saya tidak perlu memelihara hati Kebo Ijo, Mamanda. Dia sudah sangat memahami saya. Soalnya, pikirannya akan sangat berguna.

LOHGAWE : Syukurlah kalau itu pertimbangannya. Dapatkah kita memanggilnya sekarang juga?

Tg. AMETUNG : (KEPADA PENJAGA) Penjaga! (MUNCUL) Persilahkan kepala Jaga Kebo Ijo masuk. (PENJAGA MENYEMBAH DAN PERGI. TUNGGUL AMETUNG MELIHAT KE ARAH KEDUA PENDETA LAIN) Mamanda berdua, mengapa tidak masuk?

MPU SRIDHARA : Di sini lebih sejuk, Akuwu.


Adegan 3
Masuk Kebo Ijo, memberi hormat kepada pendeta.

KEBO IJO : Saya siap menerima perintah, Akuwu.

Tg. AMETUNG : Tidak Kebo Ijo. Duduklah, kita akan merundingkan sesuatu.

LOHGAWE : Benar, perwira, ada hal penting, diantaranya menyangkut dirimu.

KEBO IJO : Saya siap, Mamanda.

LOHGAWE : Begini, perwira. Dalam tawar-menawar kami dengan Ken Arok, telah disetujui bahwa hanya setengah dari anak buah Ken Arok akan dijadikan pengawal Akuwu. Akan tetapi Ken Arok menyetujui usul itu dengan syarat, yaitu bahwa dia diangkat menjadi Kepala Pengawal. Artinya, kau menjadi wakilnya.

KEBO IJO : Saya tidak melihat masalah apapun dalam hal itu, Mamanda.
LOHGAWE : Kau benar-benar perwira yang mendahulukan kerajaan dari pada dirimu sendiri, perwira.

Tg. AMETUNG : Tidakkah kau punya gagasan lain yang dapat kami pertimbangkan untuk diusulkan kepada Ken Arok?

KEBO IJO : Maksud Akuwu?

Tg. AMETUNG : Misalnya, kau tetap jadi Kepala Pengawal sedang Ken Arok mendapat tambahan penghargaan dalam bentuk uang atau barang.

KEBO IJO : Saya benar-benar tidak berkeberatan menjadi wakilnya, Akuwu.

Tg. AMETUNG : Baiklah kalau begitu.

LOHGAWE : Syukurlah, perwira. Kau benar-benar Ksatrya yang setia pada dharma. Kami, kaum Brahmana, harus berterima kasih kepadamu dan tuanmu, Akuwu Tunggul Ametung.

Tg. AMETUNG : Kamilah yang harus berterimakasih. Kami telah diberi kesempatan untuk melakukan dua kebaikan. Pertama menghentikan kegiatan Ken Arok; kedua meredakan ketegangan antara Mamanda semua dengan Sang Prabu.

LOHGAWE : Kau membalikkan perkaranya, Ananda. Jadi, sekarang kita sudah dapat mengirimkan beritanya pada Ken Arok. Saya kira, ya. Marilah kita persiapkan segalanya di dalam, Mamanda. (BERPALING KEPADA MPU SRIDHARA DAN MPU PAMOR) Mamanda, dipersilahkan masuk.

MPU PAMOR : Terimakasih, Akuwu, di sini lebih sejuk. (LOHGAWE, TUNGGUL AMETUNG DAN KEBO IJO PERGI)


Adegan 4

MPU PAMOR : Hati saya tak enak, Sridhara.

MPU SRIDHARA : Maksudmu?

MPU PAMOR : Nuraniku gelisah. Saya tidak yakin bahwa kebijakan Maharsi Lohgawe itu tepat.

MPU SRIDHARA : Tidak ada kebijakan yang lebih baik daripada yang telah diputuskannya.

MPU PAMOR : Saya tidak tahu mengatakannya, akan tetapi hati saya tidak enak. Rasanya saya berkhianat pada raja.

MPU SRIDHARA : Namanya bukan berkhianat kalau raja berniat menginjak kita, Pamor.

MPU PAMOR : Raja tidak seluruhnya keliru.

MPU SRIDHARA : Maksudmu? Tidakkah keinginannya disembah kaum Brahmana suatu hal yang keterlaluan?

MPU PAMOR : Memang itu tidak dapat diterima. Akan tetapi adalah benar pula, bahwa kaum kita tidak melaksanakan dharma sebaik yang kita inginkan.

MPU SRIDHARA : Jadi kau mau apa? Kau memilih menyembah padanya?

MPU PAMOR : Saya tidak tahu. Saya harus menenangkan diri dulu. Saya bermaksud bertapa untuk beberapa lama. Saya akan pergi ke Panawijen.

MPU SRIDHARA : Tidak ada salahnya.


Adegan 5
Muncul Lohgawe, Tunggul Ametung, Kebo Ijo dan Utusan.

Tg. AMETUNG : Kalau dia bertanya, kapan kita bersedia menerimanya, katakan setiap waktu.

UTUSAN : Baik, Akuwu. (MENYEMBAH, PERGI)

LOHGAWE : (KEPADA MPU PAMOR DAN MPU SRIDHARA) Setengah tugas kita selesai. Tinggal kita berusaha mendidik Ken Arok, menjinakkannya , hingga benar-benar ia menjadi seorang manusia.

MPU SRIDHARA : Syukurlah kalau begitu. Persoalan kita dengan Sang Prabu sudah dapat kita selesaikan.

LOHGAWE : Ya, kita akan mengirim berita pada beliau dengan secepat-cepatnya.

MPU SRIDHARA : Haruskah kita mengirim berita; bukankah kita dapat menyampaikan laporan secara langsung?

LOHGAWE : (TERSENYUM) Sridhara, Pamor, kuputuskan kita tidak kembali ke ibukota dulu. Kita akan tinggal di Tumapel untuk beberapa lama.
MPU SRIDHARA : Apa maksud Maharsi?

LOHGAWE : Kujelaskan nanti.

MPU PAMOR : Saya menyesal tidak akan dapat tinggal di sini, Maharsi.

LOHGAWE : Tapi saya tidak mengijinkanmu pulang ke ibukota.

MPU PAMOR : Saya tidak bermaksud pulang ke ibukota. Saya bermaksud pergi ke Panawijen.

Tg. AMETUNG : Panawijen?

MPU PAMOR : Benar, Akuwu.

Tg. AMETUNG : Sampaikan sembah saya kepada Mpu Purwa, mertua saya.

MPU PAMOR : Saya akan menyampaikannya.

LOHGAWE : Baiklah kalau begitu. Tapi janganlah pergi ke ibukota tanpa berunding dulu denganku.

MPU PAMOR : Maharsi tak perlu khawatir.
(BLACK OUT)

























B A B A K V I I

Di Taman Baboji.

Adegan 1
Ken Arok, Kebo Ijo, sejumlah prajurit.

KEBO IJO : Indah sekali taman ini, bukan kakanda?

KEN AROK : Indah?

KEBO IJO : Pohon-pohonnya serba teratur. Diselingi padang rumput dengan menjangan jinaknya dan di sana, di dekat telaga buatan, kakanda lihat bunga-bunga aneka warna. Lalu anjungan yang indah dengan sebahagian tiang-tiangnya dibuat dari kayu cendana yang wangi itu.

KEN AROK : (MELIHAT KE SEKELILING, TAMPAK TAK PAHAM) kalau tidak ada benteng di sekeliling tempat ini, kita lebih mudah di serang dari pada di dalam hutan atau dalam bangunan.

KEBO IJO : (TERSENYUM) Rupanya keamanan Akuwu senantiasa jadi renungan Kakanda. (KEN AROK TAMPAK TIDAK PAHAM. IA SEPERTI PUNYA FIRASAT BAHWA SESEORANG AKAN DATANG)


Adegan 2
Muncul Pendeta Lohgawe.

LOHGAWE : Saya menuju ke Pakuwon ketika mendapat kabar kau ada di sini.

KEN AROK : Saya mendapat tugas jaga disini, Mamanda.

KEBO IJO : Terimalah sembahku, Mamanda.

LOHGAWE : Tampaknya penjagaan kuat sekali.

KEBO IJO : Kanda Awuku bermaksud beristirahat di sini bersama Yunda Ken Dedes.

LOHGAWE : Oh, saya mengerti. Tapi saya tidak menggangu kalau bicara dengan anak angkatku, bukan?

KEBO IJO : Tentu saja tidak, Mamanda. Kanda Ken Arok dapat mengatur segalanya,jumlah prajurit cukup banyak di sini.

KEN AROK : Kau awasi mereka selagi saya berbicara dengan Mamanda, Kebo Ijo.

KEBO IJO : Baik, Kakanda. (pergi)


Adegan 3

LOHGAWE : Anakku,, sambil menunggu datangnya majikanmu, marilah kita lanjutkan pembicaraan kita terdahulu.

KEN AROK : Saya bukan murid yang baik. Tapi saya akan mendengarkan, Mamanda.

LOHGAWE : Nah, sekarang akan kujelaskan padamu pasal dalam Kitab Kutawarman yang berkenaan dengan Titipan. Pasal 160 Bab Titipan mengatakan sebagai berikut: “ Penitipan milik sebaiknya di lakukan kepada orang yang tinggi wangsanya, baik kelakuannya, tahu akan dharma, setia kepada katanya, bersih hatinya dan orang kaya. Itulah tempat penitipan harta milik. Barang siapa menerima titipan, jika penitipnya mati tanpa meninggalkan ahli waris, yang dititipi tidak perlu mengembalikannya. Jika penerima titipan itu mati, titipan tidak hilang. Anaknya sebagai ahli waris harus mengembalikan titipan itu kepada penitip. Titipan tidak akan disita oleh raja yang berkuasa”.
Pasal 154 Kitab Kutawarman mengenai titipan, juga menyatakan sebagai berikut: “Barang siapa merusak barang titipan, jika terbukti titipan itu dipergunakan, dipakai, diganti rupa, tanpa minta ijin penitip, perbuatan itu sama dengan merusak barang titipan dengan sengaja. Semua barang titipan itu harus dikembalikan pada penitip dengan nilai dua lipat ... ... ...”.


Adegan 4
Terdengar bunyi kereta. Muncul Tita dengan pengawal lainnya, kemudian muncul kereta.

LOHGAWE : Mereka sudah datang. Kita lanjutkan pembicaraaan lain kali, anakku.

KEN AROK : Baik, Mamanda. (TUNGGUL AMETUNG MUNCUL DAN TURUN DARI KERETA. IA MENGULURKAN TANGANNYA, MEMBANTU KEN DEDES. KEN DEDES TURUN, BETISNYA TERBUKA DAN KEN AROK MELIHATNYA DENGAN TERPESONA)

LOHGAWE : Semoga Ananda Akuwu dan istri dalam keadaan sehat sejahtera!

Tg. AMETUNG : Mamanda! Sungguh menyenangkan bertemu Mamanda di sini!

LOHGAWE : Mamanda sedang berbincang-bincang dengan Ken Arok.

Tg. AMETUNG : Mamanda, kami mempersilahkan Mamanda singgah di anjungan.

LOHGAWE : Baik Ananda Akuwu, tapi tidak sekarang.

Tg. AMETUNG : Ingin sekali saya berbicara dengan Mamanda. Sang Prabu tidak puas dengan keterlambatan upeti dari Tumapel, Mamanda.

LOHGAWE : Nanti kita berbicara, Ananda Akuwu. Sekarang Mamanda sedang memberikan pelajaran pada Ken Arok.

Tg. AMETUNG : Tapi Mamanda harus singgah di anjungan. Kami menunggu, Mamanda. (KEPADA KEN DEDES) Mari, Adinda.

KEN DEDES : (KEPADA LOHGAWE) Mamanda, kami mohon diri.

LOHGAWE : Silahkan, Ananda Putri. (MEREKA PERGI DENGAN TITA)


Adegan 5
Tinggal Lohgawe dan Ken Arok.

LOHGAWE : Mari kita lanjutkan pembicaraan kita tentang titipan itu anakku.

KEN AROK : Mamanda, saya baru melihat betis perempuan seperti itu.

LOHGAWE : Bukan perempuan, anakku, wanita.

KEN AROK : Saya baru melihat betis seperti itu.

LOHGAWE : Ken Dedes wanita luarbiasa. Ia adalah wanita nareswari. Siapapun yang menikahinya akan menjadi raja. (TERSENYUM) Saya sudah berulang-ulang mengatakan hal itu kepada Akuwu. Sekarang, marilah kita lanjutkan pembicaraan kita.

KEN AROK : Betisnya disebut nareswari?

LOHGAWE : Wanita nareswari, anakku.
KEN AROK : Apakah hanya betisnya atau seluruhnya, tidak menjadi masalah bagiku. Masalahnya, bagaimana saya mendapatkan wanita nareswari itu.

LOHGAWE : (TERKEJUT DAN CEMAS) Anakku, Ken Arok, jangan berpikir yang bukan-bukan.

KEN AROK : Tidak, sama sekali tidak, Mamanda. Adakah saran Mamanda?

LOHGAWE : Ya, sebaiknya kita lanjutkan pelajaranmu. Sekarang saya ingin menjelaskan tentang Bab Astacorah atau Pencurian, yaitu pasal 55, 56 dan 57. jika seorang pencuri tertangkap ketika melakukan pencurian, ia dihukum mati; anak-istrinya, miliknya dan tanahnya diambil-alih oleh raja yang berkuasa. Jika pencuri itu mempunyai budak laki-laki atau perempuan, budak-budak itu tidak diambil-alih oleh raja yang berkuasa, tapi dibebaskan dari segala utangnya kepada pencuri yang bersangkutan ... ... ...


Adegan 6
Muncul Tita.

TITA : Mamanda, Akuwu sudah tidak sabar menunggu Mamanda. Kalau pembicaraan dengan Ken Arok sudah selesai, Mamanda dipersilahkan segera ke anjungan.

LOHGAWE : Rupanya benar-benar penting. Kita lanjutkan nanti , anakku.

KEN AROK : Ya, Mamanda. (LOHGAWE DAN TITA PERGI) Tita!


Adegan 7
Tita muncul kembali.

KEN AROK : Tita, aku akan membunuh Tunggul Ametung
(BLACK OUT)











B A B A K V I I I

Di Lulumbung, di bengkel pandai besi Mpu Gandring. Siang.

Adegan 1
Mpu Gandring sedang bekerja di bengkelnya. Muncul Ken Arok dengan Tita.

TITA : Selamat siang, Mpu.

MPU GANDRING : Selamat siang. Ah, rupanya kalian. Kapan dari Karuman?

KEN AROK : Tadi pagi, Mpu.

MPU GANDRING : Apa kabar ayahmu?

KEN AROK : Baik, Mpu. Terimakasih.

MPU GANDRING : Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan Bango Samparan. Kudengar usahanya maju, ya?

KEN AROK : Lumayan, Mpu.

MPU GANDRING : Syukur. Kau sendiri, kudengar kau bekerja pada Akuwu Tumapel?

KEN AROK : Benar, Mpu.

MPU GANDRING : Bagus. Daripada hidup liar, tanpa masa depan yang jelas, lebih baik pilih hidup yang wajar. Kesempatan maju bukannya tidak terbuka kalau kau hidup secara wajar.

KEN AROK : (TERTEGUN, LALU TERSENYUM) Perkataan Mpu Benar sekali.

MPU GANDRING : Syukur kalau kau paham. (KEPADA TITA) Dan kau Tita, bagaimana ayahmu di Siganggeng. Masihkah ia jadi kepala desa?

TITA : Pernah berhenti sebentar, Mpu. Sekarang bekerja kembali sebagai kepala desa setelah kami bekerja pada Akuwu Tumapel.

MPU GANDRING : Syukur. Tampaknya kalian maju. Pakaian kalian sekarang lebih cocok untuk mata.

TITA : Begitukah, Mpu?

MPU GANDRING : Mengapa tidak?

KEN AROK : Mpu, bagaimana dengan keris pesanan saya?

MPU GANDRING : Sudah kubilang, keris yang baik hanya dapat diselesaikan dalam satu tahun.

KEN AROK : Apa tidak bisa dipercepat?

MPU GANDRING : Tidak, Arok. Membuat keris tidak hanya berarti menempa atau menyepuh. Membuat keris berarti bertapa, samadi, memuja, membakar dupa dan seterusnya. Keris yang di buat secara sembarangan akan membahayakan pemiliknya.

KEN AROK : Rasanya enam bulan cukup lama, Mpu.

MPU GANDRING : Enam bulan trlalu singkat. Aku tak bisa mempertanggung-jawabkan keris yang dibuat sesingkat itu. Ada pandai keris yang membuat keris dalam dua bulan, tapi bagiku yang begitu bukanlah keris. Itu mainan anak-anak yang berbahaya.

KEN AROK : Dapatkah saya melihat keris pesanan saya?

MPU GANDRING : Mengapa tidak? (PERGI KE TEMPAT PENYIMPANAN KERIS, LALU MENGAMBIL SATU DAN MENYERAHKAN NYA KEPADA KEN AROK)

TITA : Alangkah bagusnya.

MPU GANDRING : Kau lihat, gagangnya belum selesai.

TITA : Dengan gagang yang setengah selesai matanya semakin tampak kebagusannya.

MPU GANDRING : Tidak hanya bagus dipandang mata, Tita, keris ini tidak akan bengkok. Bahkan baju zirah yang tipis bisa di tembusnya kalau ditusukkan oleh tangan yang kuat.

KEN AROK : Kalau begitu keris ini sudah dianggap selesai, Mpu.

MPU GANDRING : Sama sekali belum! Aku masih harus bertapa beberapa minggu lagi, menyerahkan sajen di tempat-tempat keramat, agar keris ini semakin banyak isinya.

KEN AROK : Jadi saya tidak dapat membawanya sekarang juga?

MPU GANDRING : Jelas tidak. Aku tidak dapat mempertanggungjawabkannya dikemudian hari.

KEN AROK : Mpu dapat bertapa dan menyajikan sajen baginya, walaupun saya membawanya sekarang, bukan?

MPU GANDRING : Kau ini tidak sabar benar, Arok. Apakah kau akan membunuh orang?

KEN AROK : Tidak, Mpu. (MENUSUKKAN KERIS KE TUBUH MPU GANDRING)

TITA : Arok!

MPU GANDRING : Kau ... binatang! (KEN AROK MENCABUT KERIS DARI TUBUH MPU GANDRING, LALU MEMBERSIHKANNYA DENGAN TAK ACUH)
Kau sendiri akan mampus oleh keris itu, juga tujuh keturunanmu ... ... ... kau tidak bisa lolos ... ... ... (MATI)

TITA : Mengapa kau bunuh orang tua itu?

KEN AROK : Ada tiga tujuan yang hendak kucapai. Pertama, aku tak usah membayar pada orang tua itu, yang lainnya kau akan tahu kemudian ... ... ...

TITA : Kau sungguh tak terduga, Arok.
(BLACK OUT)
























B A B A K I X

Di depan gerbang Pakuwon Tumapel. Malam hari.


Adegan 1
Kebo Ijo, Tita dan beberapa orang prajurit sedang giliran menjaga.

PRAJURIT I : Kerismu baru, Kebo Ijo?

KEBO IJO : Betul, bagaimana pendapatmu?

PRAJURIT I : Bagus sekali. Saya belum pernah melihat keris seindah itu.

KEBO IJO : Betul? (SENANG)

PRAJURIT I : Dari minggu yang lalu saya mengamatinya.

PRAJURIT II : Dapatkah saya melihatnya?

KEBO IJO : Silahkan. (MELEPAS KERIS DAN MEMBIARKANNYA DILIHAT OLEH KEDUA PRAJURIT)

PRAJURIT I : Berapa harus kau bayar untuk keris ini?

KEBO IJO : Ini Hadiah.

PRAJURIT II : Hadiah?

KEBO IJO : Ya. Hadiah karena kebaikan hatiku, katanya. Padahal saya tidak merasa baik hati kepadanya. Saya hanya melaksanakan dharma Ksatrya belaka. (TERSENYUM)

PRAJURIT I : Kau beruntung.

KEBO IJO : saya sedang mujur. Bintang saya sedang terang.


Adegan 2
Muncul Ken Arok.

KEBO IJO : Selamat malam, Kakanda. Apakah giliran Kakanda sudah tiba? Malam rasanya masih muda.

KEN AROK : Saya sudah lama tidur. Tidurlah kau, supaya besok kau segar-bugar.

KEBO IJO : Kakanda baik sekali kepada saya.

KEN AROK : Kalau kau mau balas budi, cepatlah tidur.

KEBO IJO : Ah, Kakanda. Baiklah kalau Kakanda sudah siap berjaga, kami akan tidur sekarang. Mari kawan-kawan, mari Tita. (MEREKA PERGI)

KEN AROK : Selamat tidur, semoga pulas, Kebo Ijo.

KEBO IJO : (TERTAWA) Selamat jaga! (PERGI, KEN AROK MEMBERI ISYARAT PADA TITA)


Adegan 3
Ken Arok melambai ke suatu arah; muncul dua orang prajurit lain, anak buah Ken Arok.

KEN AROK : Kalian akan berjaga dengan Tita nanti. Siap-siaplah di sini.

PRAJURIT III : Ya, Arok.


Adegan 4
Muncul Tita.

TITA : Jadi kau menghadiahkan keris itu kepadanya?

KEN AROK : Mengapa tidak?

TITA : Aku benar-benar tidak mengerti.

KEN AROK : Diamlah, kau akan mengerti kemudian.

TITA : (MEREKA DUDUK) Sudah Bertahun kita bersama, tapi kau tetap teka-teki bagiku, Arok.

KEN AROK : Apa penting betul kalau kau mengerti aku?

TITA : (HERAN) Jawabanmu sering tidak terduga, Arok. Itulah yang menyebabkanku tetap tidak mengenalmu.

KEN AROK : Apa maksudmu?

TITA : Maksudku, sampai sekarang aku tidak dapat memastikan, orang macam apa kau ini. Kau begitu berbeda dengan orang lain, bahkan dengan kami, kawan-kawanmu.

KEN AROK : Itu tidak penting.

TITA : Nah, itu lagi. Jawabanmu sembarangan saja.
KEN AROK : Aku tidak berkata sembarangan.

TITA : Jadi kau beranggapan antara sahabat tidak perlu saling mengerti?

KEN AROK : Untuk apa? Aku sendiri tidak pernah berusaha mengerti diriku.

TITA : Kau ini siluman, Arok.

KEN AROK : (SUNGGUH-SUNGGUH) Mungkin.

TITA : (HERAN) Mungkin?

KEN AROK : Kau tahu ayah-ibuku tak jelas. Paman Lembong, bapak-angkatku yang pertama, menemukanku sebagai bayi di kuburan. Mungkin aku bayi siluman.

TITA : (MAIN-MAIN) Dan waktu kecil, kau nakal seperti anak gendruwo.

KEN AROK : (TETAP SUNGGUH-SUNGGUH, WALAUPUN SANTAI) Bukan cuma kau yang bilang begitu.

TITA : (MAIN-MAIN) Jambu satu pohon habis kau lahap dalam satu malam.

KEN AROK : (MULAI MAIN-MAIN) Tidak aku sendiri. Kau yang sakit perut.

TITA : Kau sendiri tak pernah sakit. Dasar binatang.

KEN AROK : Tapi kalau berjudi, aku sering kalah. Kau kadang-kadang menang.

TITA : Itu tak penting, bukan? Uangmu kembali karena waktu pulang, pemenangnya kau rampok.

KEN AROK : Kalah itu tidak enak.

TITA : Pantas.

KEN AROK : Pantas apa?

TITA : Waktu Penyadap di Kapundungan hampir mencelakakan kau, kau perkosa anak gadisnya.

KEN AROK : Gadis itu cantik.

TITA : Kau bajingan.

KEN AROK : Tita, waktunya sudah cukup.

TITA : Waktu apa?

KEN AROK : Kalian berjaga di sini. Aku pergi dulu. Jangan gaduh, ya?

TITA : Pergilah, ular beludak! (KEN AROK PERGI)


Adegan 5
Tita berjalan ke arah kedua prajurit yang berjaga.

PRAJURIT III : Tadi pagi, di pasar, saya mendengar orang bercakap-cakap tentang banyaknya warga kerajaan yang pindah ke sini, ke Tumapel.

TITA : Daerah di sini subur dan kaya.

PRAJURIT IV : Tapi saya dengar banyak pendeta dari ibukota berbondong-bondong ke sini.

TITA : Pendeta?

PRAJURIT IV : Ya.

TITA : Buat apa mereka datang ke sini?

PRAJURIT IV : Mana saya tahu?

PRAJURIT III : Mungkinkah itu disebabkan karena di sini ada Pendeta dari Jambudwipa itu?

TITA : Maksudmu Mamanda Lohgawe?

PRAJURIT III : Ya.

TITA : Apa hubungan Mamanda Lohgawe dengan berdatangannya pendeta dari ibukota?

PRAJURIT III : Mana saya tahu? Saya hanya bilang mungkin ada hubungannya.

PRAJURIT IV : Orang-orang mengobrol juga tentang upeti Tumapel.

TITA : Apa kata mereka?

PRAJURIT IV : Saya tidak tahu, saya hanya mendengar saja.
Adegan 6
Muncul Ken Arok.

TITA : Arok, kawan-kawan bilang banyak pendeta datang ke sini dari ibukota.

KEN AROK : Betul. Mamanda Lohgawe bilang begitu.

TITA : Untuk apa mereka datang ke sini?

KEN AROK : Belum jelas.

TITA : Kau bisa menanyakan kepada Mamanda Lohgawe.

KEN AROK : Untuk apa?

TITA : Ah, kau! Selalu untuk apa! (TERDENGAR JERITAN. DIIKUTI TERIAKAN WANITA MEMINTA TOLONG)

KEN AROK : Tita ikut aku! Kalian tinggal di sini! (MEREKA MASUK KEDALAM PAKUWON)


Adegan 7
Muncul prajurit-prajurit dari berbagai arah ke lapangan depan gerbang.

PRAJURIT I : Ada apa? Ada apa?

PRAJURIT III : Tidak tahu. Tapi Ken Arok dan Tita sudah masuk ke dalam. Kami disuruh tinggal di sini. (TERDENGAR SUARA TANGIS DARI DALAM PAKUWON)

PRAJURIT II : Mari masuk!


Adegan 8
Muncul Ken Arok dari gerbang diiringkan oleh Tita. Ken Arok memegang keris Mpu Gandring yang berdarah.

KEN AROK : Akuwu Tunggul Ametung tewas dibunuh orang. Pasti orang dalam! Sekitar Pakuwon dijaga ketat. Ini keris pembunuhnya. Siapa yang kenal dengan keris ini? Keris siapa ini?

PRAJURIT : Keris Kebo Ijo! Itu keris Kebo Ijo!

KEN AROK : Panggil Kebo Ijo. Paksa bawa ke sini! (PRAJURIT BERLARIAN)

Adegan 9
Kebo Ijo diseret ke lapangan depan gerbang.

KEBO IJO : Ada apa? Apa-apaan ini?

KEN AROK : (MENDEKAT PADA KEBO IJO) Kau cerdik! Kau seekor ular! (MENUSUK KEBO IJO, KEBO IJO MATI ) Kawan-kawan, karena kedudukannya sebagai Kepala Kawal diserahkan padaku, Kebo Ijo marah dan dendam terhadap Akuwu. Ia memesan keris ini dari seorang Mpu. Dan malam ini ia menyampaikan maksudnya. Sekarang, marilah kita urus jenasah Akuwu. Bawa mayat Kebo Ijo ke dalam. (PRAJURIT-PRAJURIT MENGUSUNG MAYAT KEBO IJO KE DALAM PAKUWON)


Adegan 10
Tinggal Ken Arok dan Tita.

TITA : (MENGGELENGKAN KEPALA) Sekarang aku paham!

KEN AROK : Tidak, kau tidak paham. Tapi itu tidak penting.
(BLACK OUT)


























B A B A K X

Di pendapa Pakuwon tumapel. Hadir Ken Arok, Tita, Bango Samparan, para anak buah Ken Arok dan bekas anak buah Tunggul Ametung. Seorang menenteng baki berisi dupa, air bunga dan genta.


Adegan 1

KEN AROK : Kalian tahu, akulah Kepala Kawal di Tumapel. Oleh karena itu, kekuasaan atas wilayah Tumapel jatuh ke tanganku. Yang tidak menurut perintahku akan tahu, siapa Ken Arok. Sekarang segera panggil Mamanda Lohgawe dan pendeta-pendeta lain. Dan kau Tita, persilahkan Ken Dedes hadir di pendapa. (TITA PERGI, DEMIKIAN JUGA BEBERAPA PRAJURIT, KE ARAH YANG BERLAINAN DENGAN YANG DIAMBIL TITA)


Adegan 2
Pendeta Lohgawe diiringi oleh prajurit dengan todongan senjata. Kemudian dari berbagai arah muncul pula pendeta-pendeta lain, juga diiringkan dengan senjata terhunus. Dia antara mereka terdapat Mpu Sridhara. Kemudian Ken Dedes muncul, diiringkan oleh dua orang embannya.

KEN AROK : Adinda, Ken Dedes, silahkan duduk di sampingku.

LOHGAWE : Ada apakah, anakku Ken Arok? Mengapa prajurit-prajuritmu memperlakukan aku dengan kasar?

KEN AROK : Mamanda akan diminta melaksanakan upacara yang sangat penting. Prajurit-prajurit itu sangat bergairah melaksanakan perintahku. Maafkan mereka.

LOHGAWE : Upacara apa?

KEN AROK : Hari ini saya bermaksud memperistri Ken Dedes.

KEN DEDES : Oh!

LOHGAWE : Tapi ... ... ...

KEN AROK : Tidak ada tapi, Mamanda. Kalau Mamanda mengaku sebagai ayah-pungutku, sekaranglah Mamanda harus memperlaku-kanku sebagai anak-pungut Mamanda. (LOHGAWE DIDORONG DI DEPAN KEN AROK DAN KEN DEDES. KEN DEDES AKAN BANGKIT, AKAN TETAPI DIPEGANGI OLEH KEN AROK DAN DIDUDUKKAN KEMBALI DAN TIDAK BERDAYA)
Mulailah dengan upacara! (LOHGAWE MEMBACA DOA SAMBIL MEMBUNYIKAN GENTA, LALU MEMERCIKI AIR BUNGA PADA PENGANTIN)

LOHGAWE : Atas nama segala yang suci, dan dengan menyeru pada Dewi Ratih dan Dewa Kamajaya, kunyatakan Ken Arok dan Ken Dedes, syah menjadi suami-istri. (HADIRIN BERGUMAM MENYATAKAN PERSETUJUANNYA. LOHGAWE AKAN MENGUNDURKAN DIRI, AKAN TETAPI KEN AROK MEMEGANGI TANGANNYA)

KEN AROK : Tugas Mamanda belum selesai. Masih ada upacara lain.

LOHGAWE : Upacara apa lagi?

KEN AROK : Mamanda pernah mengatakan, bahwa siapapun yang memperistri Ken Dedes, akan menjadi raja. Oleh karena itu, nobatkanlah dengan segala kesucian anak-pungut Mamanda ini menjadi raja. (HADIRIN BERGUMAM MENYATAKAN PERSETUJUAN)

LOHGAWE : Ken Arok, masalahnya tak semudah itu. Perlu ada persiapan-persiapan dulu.

KEN AROK : Tidak ada yang sukar bagi Ken Arok, nobatkanlah saya sekarang, masalah-masalah akan ditanggulangi kemudian. Percayalah pada saya.

Bg. SAMPARAN : Ayolah, pendeta.

LOHGAWE : Saya tak punya pilihan lain. (MENGULANGI UPACARA YANG DILAKUKANNYA TERDAHULU) Sebagai Pendeta Agung, bersama ini kunyatakann Ken Arok syah sebagai raja bagi seluruh wilayah Tumapel. (HADIRIN BERSORAK SERAYA MENGACUNG-ACUNGKAN SENJATA)

KEN AROK : Kawan-kawan, tenanglah! Sekarang saya adalah raja wilayah Tumapel. Tumapel akan kuganti namanya agar lebih cocok. Tumapel adalah kotaku, maka akan kunamai ia Singhasari! (HADIRIN SEKALI LAGI BERSORAK) Kunyatakan pula Ken Dedes Sebagai permaisuriku! (HADIRIN BERSORAK LAGI) Dan aku sejak hari ini akan bergelar Sang Amurwabhumi! Umumkan itu ke seluruh pelosok negeri!

HADIRIN : Hidup Sang Amurwabhumi! Jaya Sang Amurwabhumi!

KEN AROK : Dan sekarang, dengarlah wahai rakyatku! Dengarlah kebijaksanaanku yang pertama bagi kalian. Dengan ini Sang Amurwabhumi menyatakan bahwa, seluruh rakyat dibebaskan dari pajak-pajak saarik purih, satampaking waluku dan wadung pacul. (HADIRIN BERSORAK SORAI BAGAIKAN GILA)

LOHGAWE : Semuanya ini berarti perang melawan Kediri, Ken Arok.

KEN AROK : Jelas, Mamanda! Mamanda akan kuangkat menjadi penasihatku. Mamanda akan kuangkat menjadi Pendeta Kerajaan, menjadi Purohita. (KEPADA HADIRIN) Kawan-kawan, bagaimana pendapat kalian kalau Mamanda Lohgawe ku angkat menjadi Purohita?

HADIRIN : Setuju! Setuju! Hidup Mamanda Lohgawe! Hidup Purohita!

KEN AROK : Kawan-kawan! Rakyatku! Ada yang tidak setuju kalian dibebaskan dari berbagai pajak, yaitu raja Kertajaya. Bagaimana pendapat kalian?

HADIRIN : Bunuh Kertajaya! Hancurkan Kediri! Serbu Daha! Rebut Kediri!

LOHGAWE : Kertajaya bukan raja yang lemah. Pasukannya paling baik di seluruh Bumi Jawa. Dia pernah sesumbar, hanya Betara Gurulah yang mampu mengalahkannya.

KEN AROK : Benarkah dia berkata begitu?

LOHGAWE : Benar. Ada yang mendengarnya secara langsung. Itu dia. Sridhara, kemarilah!

KEN AROK : Benarkah Kertajaya mengatakan bahwa dia hanya akan dikalahkan oleh Betara Guru?

MPU SRIDHARA : Benar, Ken Ar ... ... eh, Sang Amurwabhumi.

KEN AROK : (KEPADA HADIRIN) Kawan-kawan! Rakyatku! Dengarlah! Tenanglah! Upacara pemberian gelar akan segera dilaksanakan. (KEPADA LOHGAWE) Mamanda, berilah saya gelar Betara Guru di hadapan rakyatku. (UPACARA DIULANG UNTUK KETIGA KALI)

LOHGAWE : Bersama ini Sang Amurwabhumi dengan syah mempergunakan namanya yang lain, yaitu Betara Guru!

HADIRIN : Hidup Sang Amurwabhumi! Hidup Betara Guru!
KEN AROK : Kawan-kawan, besok kita akan berangkat ke Kediri dan membunuh Kertajaya. Malam ini kita akan berpesta! Sembelih kerbau sesuka kalian! Alirkan tuak dari guci-guci! Bongkar gudang-gudang! Menari dan menyanyilah kalian , karena hari ini dan selanjutnya adalah hari kemenangan kita! (HADIRIN BERSORAK. KEN AROK MENYERET KEN DEDES MENINGGALKAN RUANGAN)
(BLACK OUT)









































B A B A K X I

Di Kediri. Kertajaya dihadap oleh pembantu-pembantunya, yaitu Mpu Aditya dan Mpu Narayana. Siang.


Adegan 1
KERTAJAYA : Saya tidak menduka kaum Brahmana sudah begitu bejat. Mereka menyangka, mereka akan lolos dengan perbuatan ini.

MPU NARAYANA : Mereka mencari kehancuran sendiri.

KERTAJAYA : Ya. Setelah peristiwa ini tak akan ada lagi yang bernama Brahmana di bumi Kediri. Pajak-pajak dapat disalurkan kepada hal-hal yang lebih berguna bagi anak-negri.

MPU NARAYANA : Saya harap Mahisa Walungan dan Gubar Baleman sudah dapat menangkap mereka dalam tiga hari ini. Saya ingin sekali melihat muka Mpu Sridhara dan Mpu Pamor. Saya ingin bertanya pada mereka, apakah mereka tidak kehilangan ingatan.

KERTAJAYA : Mereka sinting dan jahat. Bayangkan, mereka membunuh Akuwu Tumapel. Dapatkah kalian membayangkan kejahatan seperti itu?

MPU ADITYA : Mungkin gagasan gila itu tidak datang dari mereka, maksud saya Sridhara dan Pamor, melainkan dari Lohgawe, pendeta dari Jambudwipa itu.

KERTAJAYA : Tidak mustahil. Saya kenal dengan Sridhara dan Pamor. Terutama Pamor, benar-benar saya tidak bisa percaya.

MPU NARAYANA : Saya kira memang Lohgawe inilah biang keladinya.

KERTAJAYA : Ah, semoga pasukan kita menangkap mereka hidup-hidup. Saya ingin menghukumnya hingga berpuluh-puluh tahun kemudian anak negeri akan tetap ingat. Saya ingin menjadikan penghukuman itu sebagai peringatan dan pelajaran bagi kaum Brahmana khususnya, anak negeri umumnya.

MPU NARAYANA : Mereka pantas dicincang!

KERTAJAYA : Lebih dari itu. Bayangkan, mereka berkomplot dengan perampok dan membunuh Tunggul Ametung, bawahanku yang baik itu.
MPU ADITYA : Lalu mereka menyatakan berdirinya kerajaan baru. Saya masih sukar percaya kalau ini benar-benar terjadi.

MPU NARAYANA : Kita hanya bisa percaya kalau mereka sinting.

KERTAJAYA : Mereka bermain-main dengan mendorong roda sejarah. Disangka mereka, mereka akan bebas. Mereka akan tergilas sendiri.


Adegan 2
Masuk pembawa berita. Menyembah.

KERTAJAYA : Ada apa?

Pembw. BERITA : Ampun beribu ampun, Gusti Prabu, hamba membawa berita duka dari medan perang.

KERTAJAYA : Katakan!

Pembw. BERITA : Panglima Gubar Baleman gugur, Gusti Prabu.

KERTAJAYA : Ya, Dewata Raya! Ia gugur dalam melaksanakan tugas dharma Ksatrya.

MPU ADITYA : Bagaimana sampai Panglima Baleman gugur? Rasanya tidak mungkin! Bukankah lawan hanya segerombolan petani yang kena hasut?

Pembw. BERITA : Bukan segerombol, Yang Mulia, beribu-ribu. Betapun gagah-perwiranya prajurit-prajurit Kediri, menghadapi jumlah yang berlipat-lipat itu kewalahan juga.

KERTAJAYA : Tutup mulutmu, utusan. Kau tak berhak memberikan penjelasan!

Pembw. BERITA : Ampun beribu ampun, Gusti Prabu. Hamba mohon diri. Tugas hamba sudah selesai.

KERTAJAYA : Pergi cepat!


Adegan 3

KERTAJAYA : Jangan terlalu cemas, Aditya, Narayana. Mahisa Walungan akan bisa mengurusi petani-petani kena hasut itu. Gugurnya Gubar Baleman hanya karena kesialan kita saja. Tak ada yang salah dengan pasukan kita. Jangan kawatir.

MPU NARYANA : Kita benar-benar harus mencincang Lohgawe itu.

KERTAJAYA : Sabarlah, saatnya akan tiba.

MPU ADITYA : Saya kira dari dialah datangnya gagasan membebaskan rakyat dari pajak-pajak.

KERTAJAYA : Gagasan gila! Bagi seorang pemimpin itu berarti menggali lobang kuburnya sendiri. Darimana ia akan menggaji para ponggawa? Prajurit mana yang mau bertempur tanpa mendapat upah? Sungguh gagasan gila. Hanya pada saat-saat pertama saja petani-petani ini mau angkat senjata, di musim mengerjakan sawah mereka akan berhenti bertempur, karena mereka tahu, mereka akan mati kelaparan kalau terus bertempur.

MPU NARAYANA : Sukar dipercaya, sungguh. Kalau tidak gila, mereka itu apa?

KERTAJAYA : Gila atau goblok, mereka harus bayar mahal di Kediri ini.


Adegan 4
Satu lagi Pembawa Berita muncul. Ia menangis.

KERTAJAYA : Apa yang terjadi?

Pembw. BERITA : Celaka, Gusti. Adinda Gusti, Mahisa Walungan, gugur.

MPU NARAYANA : Ya Dewata Raya!

MPU ADITYA : Ini tidak dapat dibiarkan!

Pembw. BERITA : Dia sedang bergerak ke sini, dengan pasukannya yang besar.

KERTAJAYA : Siapa dia?

Pembw. BERITA : Betara Guru, Gusti.

KERTAJAYA : Apa? Betara Guru?

Pembw. BERITA : Panglima Pasukan musuh bernama Betara Guru, Gusti.

KERTAJAYA : (TERTEGUN) Narayana, Aditya, kita akan mengungsi.

MPU NARAYANA : Kemana, Gusti?

KERTAJAYA : (BERJALAN KE ARAH SINGGASANA, TERTEGUN) Tak ada tempat lain untuk mengungsi, selain Dewalaya. (MENUSUK DADANYA DENGAN KERIS)

Aditya/Narayana : Gusti!!!(KERTAJAYA TEWAS)
(BLACK OUT)











































B A B A K X I I

Di istana Singhasari. Delapan belas tahun setelah dikalahkannya Kertajaya. Malam.


Adegan 1
Di samping Ken Arok, hadir Bango Samparan, Tita, Lohgawe dan anak-anak buah Ken Arok lainnya. Ken arok dikelilingi gadis-gadis dan Ken Umang, selirnya. Ken Umang menyuapi Ken Arok dari sebuah bangku tinggi, seakan-akan Ken Arok seekor binatang. Terdapat pejabat kerajaan yang sedang berjudi, sementara di tempat lain terdapat pula yang sedang minum tuak dan mabuk.

Bg. SAMPARAN : Perkiraanmu tepat, Arok.

KEN AROK : Perkiraan apa?

Bg. SAMPARAN : Perjudian keliling itu berhasil baik.

KEN AROK : Perjudian keliling yang mana?

Bg. SAMPARAN : Wah, kau lupa, rupanya. Dulu ketika rumah-rumah judi penghasilannya berkurang, kau menyarankan agar kita mengadakan perjudian di tempat-tempat panen, baik panen padi, bauh-buahan ataupun ikan. Bahkan kau menyarankan diadakan perjudian di tempat penjualan hasil hutan. Ternyata hasilnya bagus.

KEN AROK : Syukur. Bagaimana dengan rumah-rumah hiburan ?

Bg. SAMPARAN : (TERTAWA) Jangan takut, tak ada usaha yang mantap seperti penyelenggaraan rumah-rumah hiburan. Memang, pada awal pembukaannya ada suara-suara sumbang, akan tetapi setelah lima tahun, apa lagi setelah lima belas tahun, orang-orang sudah menganggap rumah-rumah hiburan sebagai bagian hidup mereka.

LOHGAWE : Bango Samparan, anda tidak pernah melaporkan segi buruknya dari penyelenggaraan lembaga-lembaga judi dan pelacuran itu. Anda tidak pernah melaporakan kepada raja bahwa banyak gadis-gadis yang jadi penghuni rumah hiburan bertentangan dengan kehendak mereka. Banyak di antaranya yan ditipu atau dipaksa masuk sana.

KEN AROK : (TERTAWA) Mamanda, sabagai Purohita Mamanda tidak berhak bicara tentang kebijaksanaan-kebijaksanaanku. Tugas Mamanda adalah melakukan upacara-upacara.

Bg. SAMPARAN : Jangan lupa, Mamanda makan dari hasil lembaga-lembaga yang Mamanda sebut itu.

LOHGAWE : Izinkan aku meninggalkan kalian, masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan.


Adegan 2
Lohgawe meninggalkan pentas

Bg. SAMPARAN : Saya heran, mengapa dia tidak meloloskan diri dari Singhasari dan pulang ke Jambudwipa.

KEN AROK : Dia bijaksana. Dia tahu bahwa kalaupun dia lari saya akan segera mendapatkan gantinya. Jadi tidak ada gunanya.

Bg. SAMPARAN : Tapi setiap kali dia hadir di tengah-tengah kita tampaknya selalu seperti orang sakit perut. Heran, bagaimana dia mau bertahan di sini.

KEN AROK : (TERTAWA) Dia bermaksud mengubah saya, Bapak.

Bg. SAMPARAN : Mengapa kau biarkan dia?

KEN AROK : (TERTAWA) Apa ruginya? Suatu hiburan! Saya pura-pura mendengarkan omong-kosongnya dengan sungguh-sungguh, lalu saya lakukan hal-hal yang paling tidak disukainya. Itula sebabnya dia selalu tampak sakit perut, seperti kata Bapak.

TITA : Kau bajingan!

KEN AROK : (TERTAWA) Kau menyebut rajamu bajingan, Tita.

TITA : Habis harus menyebut apa?

KEN AROK : Memang dari dulu lidahmu tajam.

TITA : Aku tak pernah menyebutmu bajingan di depan umum sekarang, bukan?

KEN AROK : Kau boleh menyebutku sesukamu, dimana saja.

TITA : (SUNGGUH-SUNGGUH) Arok, bagaimana dengan Anusapati?

KEN AROK : Ada apa dengan dia?

TITA : Akhirnya ia akan tahu bahwa kau bukan ayahnya.
KEN AROK : (TERTAWA) Makanya kukirimkan dai kepada kakeknya, biar dia diajari di sana bahwa seekor lalatpun tidak boleh dibunuh, apalagi Ken Arok.

TITA : Kau ini bajingan!

KEN AROK : Hai, sudah hampir satu minggu saya tidak melihat ratuku.

KEN UMANG : Sri ratu lebih senang sembahyang daripada melayani Raja, bukan?

KEN AROK : Saya tidak mengajakmu bicara. Saya bicara dengan Tita.

KEN UMANG : Jadi saya tidak boleh ikut bicara?

KEN AROK : Buat apa? Bikinlah tubuhmu semakin montok, lupakan yang lain. (KEPADA PENJAGA) Prajurit, persilahkan Sri Ratu hadir di ruangan ini. (PRAJURIT PERGI)

TITA : Mengapa kau mengganggunya?

KEN AROK : Ia adalah ratuku, dan aku adalah raja.

TITA : Maksudku, untuk apa kau memanggilnya sekarang.

KEN AROK : Aku tidak melihatnya dalam seminggu.Di samping itu kau mengingatkanku akan Anusapati. Aku ingin bertemu dengannya, aku ingin tahu sampai sejauh mana dia belajar dari kakeknya.

TITA : Jadi kaukah yang mengirimkan dia pergi ke Panawijen dan bukan ibunya?

KEN AROK : (TERTAWA) Tentu saja aku yan menyebabkan dia pergi ke Panawijen, walaupun ibunya sendiri yang menyampaikan kehendakku itu. Tentu saja Ken Dedes tidak mengerti maksudku.

TITA : Ular macam apa kau ini?


Adegan 3
Muncul Ken Dedes. Dengan ragu-ragu dan merasa tidak senang dia melewati orang-orang ke arah Ken Arok.

KEN DEDES : Kakanda memanggilku?

KEN AROK : Nah, kiranya kau datang juga. Kemana saja dalam semiggu ini?
KEN DEDES : Kakanda tahu dimana saya berada.

KEN AROK : Duduklah di sampingku.

KEN DEDES : Tidak, kakanda, saya tak mau menggangu Kakanda.

KEN AROK : Tidak benar. Saya mau kau berada di sini.

KEN DEDES : Saya akan menggangu Kakanda. Biarkanlah saya berada di antara anak-anak kita. Mereka memerlukan saya berada di sana, apalagi kalau Kakanda tidak ada di antara mereka.

KEN AROK : Baiklah. Tapi bagaimana kabarnya Anusapati?

KEN DEDES : Dia baik-baik saja, Kakanda. Kemarin saya terima suratnya.

KEN AROK : Maksudku, bagaimana kemajuannya dalam belajar?

KEN DEDES : Dia tidak bicara tentang pelajarannya, Kakanda. Saya akan menanyakanya dalam surat saya padanya. Dia akan senang bahwa Kakanda memperhatikan pelajarannya.

KEN AROK : Bagus. Katakan padanya, saya sangat senang kalau dia belajar dengan baik.

KEN DEDES : Terimakasih, Kakanda. Dapatkah saya meninggalkan ruangan ini?

KEN AROK : Saya tak hendak mengganggumu, tapi janganlah lupa Adinda menyampaikan pesanku pada anak kita, Anusapati.

KEN DEDES : Terimakasih, Kakanda, saya mohon diri. (PERGI).


Adegan 4
Muncul Lohgawe dan berpapasan dengan Ken Dedes.

LOHGAWE : Perlengkapan upacara sudah siap. Mamanda khawatir Sri Ratu terlambat. Jadi Mamanda menyusul kesini.

KEN DEDES : Mamanda tahu, saya tidak pernah lama berada di ruangan ini. (KEDUANYA PERGI).


Adegan 5

Bg. SAMPARAN : Pendeta itu harus diawasi.

KEN AROK : Buat apa?
TITA : Kau selalu tanya.

Bg. SAMPARAN : Karena ia selalu tampak sakit perut.

KEN AROK : Lebih baik Ratu diawasi, agar mendorong anaknya cepat-cepat jadi pendeta Buddha.

TITA : Jadi rencanamu dia jadi pendeta Buddha

KEN AROK : Tak ada yang lebih cocok bagi seseorang seperti dia daripada berpakaian lembayung dan berkepala gundul, bukan.

TITA : Ular kepala dua, kau!
(BLACK OUT)


































BABAK XIII

Di padepokan Panawijen. Siang hari.


Adegan 1
Punta, Prasanta dan Juru Deh sedang beristirahat sambil menunggu majikan mereka, Anusapati. Juru Deh tidur di tempat tinggi.

PUNTA : Santa, kok kamu pendiam betul?

PRASANTA : Bukannya saya pendiam.

PUNTA : Jadi?

PRASANTA : Kamu yang banyak omong. Rewel.

PUNTA : E e e e e! Orang kasih perhatian, malah membalas dengan dengki.

PRASANTA : Orang sedang berpikir diganggu.

PUNTA : Ho ho ho ho ho! Jadi kamu sedang berpikir, ya? Jadi kamu kira otakmu cukup bagus buat berfikir, ya?

PRASANTA : Memang saya juga tahu ... ... ...

PUNTA : Tahu apa?

PRASANTA : Otak kamu yang paling bagus.

PUNTA : Lho, kapan kamu sadar bahwa otakku mulus.

PRASANTA : Memang otakmu masih mulus, masih asli, karena tidak pernah dipergunakan.

JURU DEH : (TIBA-TIBA) Ha ha ha ha ha!

PUNTA : Orang tidur tertawa! Ngorok saja, jangan ikut campur.

JURU DEH : Saya bermimpi.

PUNTA : Bermimpi?

JURU DEH : Ada orang sok pintar, terkecoh.

PUNTA : Kamu menyindir, ya?

JURU DEH : Lho, kan saya bermimpi. Bagaimana orang bermimpi bisa menyindir?

PUNTA : Tapi ... ... ... tapi kamu bilang ada orang pintar terkecoh.

JURU DEH : Sok ... pintar.

PUNTA : Kamu menyebutku sok pintar, ya?

JURU DEH : Orang yang dalam impianku itu yang sok pintar.

PUNTA : Siapa dia?

JURU DEH : Lha, bagaimana saya tahu? Tanyalah sendiri.

PRASANTA : Ha ha ha ha ha !

PUNTA : Kalian berdua berkomplot, ya?

PRASANTA : Lha, kenapa jadi begini?

PUNTA : Salah kamu sendiri!

PRASANTA : Juru Deh, ada apa sih dengan si Punta?

JURU DEH : Tidak ada apa-apa, otaknya-kan yang paling mulus.

PUNTA : Kamu yang mulai. Kamu bilang saya rewel.

PRASANTA : Jadi saya harus bilang kamu pendiam, ya?

PUNTA : Tidak.

PRASANTA : Makanya.

PUNTA : Makanya apa?

PRASANTA : Saya bilang yang sebaliknya.

PUNTA : Baik. Saya bilang kamu sok pintar.

PRASANTA : Juru Deh, yang sok pintar dalam mimpimu itu siapa?

JURU DEH : Nanti saya dianggap ikut campur.

PRASANTA : Juru Deh, kamu Cuma memikirkan diri sendiri. Kamu harus ikut membereskan persoalan ini.

PUNTA : Betul, kamu harus bertanggung-jawab.
JURU DEH : Lha, kenapa jadi begitu? Apa saya harus bertanggung-jawab karena saya bermimpi?

PUNTA : Harus.

JURU DEH : Santa, bagaimana ini?

PRASANTA : Salah kamu ikut campur.

JURU DEH : Jadi saya harus mempertanggung-jawabkan mimpiku?

Punta/Prasanta : (bersamaan) Ya!

JURU DEH : Santa, kamu bikin saya jadi kambing hitam!

PRASANTA : Salah kamu mimpi sembarangan.

JURU DEH : Oh, begitu. Baiklah, lain kali saya bermimpi dengan tertib.

PUNTA : Tapi kamu harus mempertanggung-jawabkan mimpimu itu.

JURU DEH : Baik. Dengan ini saya pertanggung-jawabkan mimpiku.

PUNTA : Lalu?

JURU DEH : Lalu apa?

PUNTA : Bagaimana kamu mempertanggung-jawabkannya?

JURU DEH : Ajari dulu saya, bagaimana caranya.

PUNTA : Dasar!

JURU DEH : Dasar apa?

PUNTA : Pikir sendiri.

PRASANTA : Ha ha ha ha ha!

JURU DEH : Kalian berkomplot, ya? Baiklah, saya akan pergi dulu. Saya akan mencari orang yang sok pintar dan yang satu lagi, yang goblok. Kedua-duanya kutemukan di dalam mimpiku tadi.

PRASANTA : Jangkrik!




Adegan 2
Tinggal Punta dan Prasanta

PUNTA : Kamu bilang tadi kamu sedang berpikir. Apa sih yang kamu pikir?

PRASANTA : Saya bingung, harus bagaimana saya hidup di keraton nanti.

PUNTA : Hah? Kamu kira kamu mau jadi raja?

PRASANTA : Yang betul saja. Masa calon raja berkawan dengan orang macam kamu!

PUNTA : Sialan! Baiklah, kenapa kamu bingung, dan apa hubungannya dengan keraton?

PRASANTA : ‘Kan majikan kita, Pangeran Anusapati sudah dewasa. Beliau putra sulung, jadi pasti menjadi Raja Singhasari nanti.
PUNTA : Apa bingungnya?

PRASANTA : Pertama, saya tidak suka tuak dan takut mabok. Di keraton begitu banyak tuak. Kedua, saya tidak punya uang untuk berjudi. Di keraton orang berjudi melulu. Ketiga, di sana begitu banyak perempuan penghibur. Istriku suka cemburu.

PUNTA : Kamu bohong! Kamu bukan memikirkan itu!

PRASANTA : Tobaaaaat! Mati saya! Tadi disebut pendiam, sudah bicara dianggap bohong. Sudahlah, terserah kamulah. Saya tidak akan bicara apa-apa lagi.

PUNTA : Tapi kamu harus menjawab teguran orang. Itu termasuk sopan-santun.

PRASANTA : Saya tidak akan menjawab.

PUNTA : Kalau begitu kamu benar-benar tidak punya malu. Kamu bertahun-tahun hidup di padepokan tidak tahu sopan-santun.

PRASANTA : Saya tidak akan menjawab.

PUNTA : Dasarnya kamu ini memang bebal, bertahun-tahun mengabdi kepada Pangeran Anusapati, sifat-sifat burukmu tidak hilang juga.

PRASANTA : Saya akan diam.
PUNTA : Pada hal setiap orang mengatakan, Pangeran Anusapati itu teladan, baik dalam sopan-santun, ketekunan, keramah-tamahan dan segala yang baik-baik. Tapi sedikitpun tidak kau dapatkan sifat-sifat itu.

PRASANTA : Saya tidak mendengar.

PUNTA : Biar kamu tidak mendengarkan, saya akan bicara sendiri, karena memang kamu tidak jujur, suka bohong, suka menipu, tidak tahu sopan-santun, bebal ... ... ...

PRASANTA : Saya tidak mendengar.

PUNTA : Biar!


Adegan 3
Muncul emban, membawa sebuah gendi dan ubi jalar bakar besar di atas cempeh.

EMBAN : Rajin betul kalian belajar. Saya dengar kalian sedang menghafal ayat-ayat kitab Kutawarman. Saya mendengar tadi Punta mengatakan larangan terhadap bohong, menipu, harus sopan-santun dan sebagainya. Silahkan minum dulu. Mana Juru Deh.

PRASANTA : Juru Deh sudah minum tadi, Mbok.

EMBAN : Oh, kalau begitu ini buat kalian berdua saja.

PRASANTA : Baik, Mbok. Terimakasih (EMBAN PERGI). Nah, jadi kita mendapat bagian lebih besar, ‘kan?

PUNTA : Tinggalkanlah sebagian baginya.

PRASANTA : Mengapa? Tadi ‘kan dia menyebutmu sok-pintar.

PUNTA : Kamu juga disebut goblok tadi.

PRASANTA : Makanya.

PUNTA : Makanya apa?

PRASANTA : Kita habiskan bagiannya.

PUNTA : Kamu tidak jujur.

PRASANTA : Baiklah, jadi saya dapat dua pertiga kamu satu pertiga.

PUNTA : Itu tidak adil.

PRASANTA : Jadi kamu mau makan bagian Juru Deh?

PUNTA : Demi keadilan, mau. (PRASANTA MEMOTONG UBI DENGAN PISAUNYA, LALU MEMBERIKAN SEBAGIAN KEPADA PUNTA). Kamu tidak adil. Kamu sengaja memotong agar bagian yang kau ambil lebih besar!

PRASANTA : Kamu harus merasa beruntung masih dapat lebih dari sepertiga.

PUNTA : Tapi itu tidak adil!


Adegan 4
Muncul Juru Deh

JURU DEH : Ada apa? Belum berhenti ributnya?

PUNTA : Dia tidak adil. Dia pura-pura mau membagi dua, padahal potongan yang diambilnya lebih besar. Saya tidak terima.

PRASANTA : Nanti dulu. Nanti dulu.

JURU DEH : Supaya adil, bagaimana kalau saya potong sedikit dari bagian Santa.

PUNTA : Saya setuju.

PRASANTA : Baiklah, agar jangan rewel berkepanjangan. (JURU DEH MENGELUARKAN PISAUNYA, MEMOTONG BAGIAN PRASANTA, LANGSUNG MENYUAPKAN KE MULUTNYA).

PUNTA : Sekarang adil.

PRASANTA : Nanti dulu! Sekarang punyaku lebih kecil. Kamu Juru Deh memotongnya terlalu besar.

JURU DEH : Kamu tahu saya tidak bawa ukuran.

PRASANTA : Itu tidak adil. Saya tidak terima.

JURU DEH : Kalau begitu harus kupotong punya Punta.

PRASANTA : Ya! Itu baru adil! (PUNTA MENYODORKAN BAGIANNYA KEPADA JURU DEH. JURU DEH MEMOTONGNYA, LALU MEMAKANNYA. PUNTA MENGAKURKAN BAGIANNYA KEPADA BAGIAN PRASANTA).
PUNTA : Sialan! Sekarang punyaku jauh lebih kecil daripada punya kamu, Santa! Jangan makan dulu! Itu tidak adil!

PRASANTA : Jangkrik!

JURU DEH : Saya tidak bersedia lagi memotong. Saya sudah terlalu kenyang.

PUNTA : Sialan! (MEMBANTING UBINYA DAN MENGINJAK-INJAKNYA. PRASANTA AKAN MEMAKAN UBINYA, TAPI PUNTA MENEPUK TANGANNYA) Jangan! Itu tidak adil! (UBI PRASANTA JATUH, LALU DIINJAK-INJAK OLEHNYA).

PRASANTA : Tobaaaaat ! Tewas! Tewas! (JURU DEH BERSENDAWA)


Adegan 5
Mmuncul Pengawal Pribadi Pangeran Anusapati.

PENGAWAL : Jangan kotorkan halaman ini, Pageran dan Mamanda segera akan berteduh di sini.

JURU DEH : Barang siapa pemiliki ubi harus membersihkan kulitnya.

PRASANTA : Jangkrik! (PRASANTA DAN PUNTA MENGAMBIL SAMPAH DAN MEMBUANGNYA KE LUAR PENTAS).


Adegan 6
Muncul Anusapati bersama Mpu Purwa dan Mpu Pamor. Semua memberi hormat. Mereka duduk.

ANUSAPATI : Hamba tidak terkejut, kakenda berdua.

MPU PURWA : Syukurlah. Tak ada di dunia yang perlu mengejutkanmu.

MPU PAMOR : Memang tak ada, Raden.

ANUSAPATI : Hamba tidak terkejut bukan karena bijaksana, Kakenda berdua, melainkan, karena sebelumnya hamba sudah punya firasat.

MPU PAMOR : Firasat?

ANUSAPATI : Ya. Sejak hamba mulai remaja timbullah pertanyaan itu. Siapakah hamba ini? Siapakah ayah hamba? Apakah sebenarnya peran dan kedudukan hamba di kerajaan?

MPU PAMOR : Kakenda ingin tahu, apa yang menyebabkan cucunda bertanya demikian.

ANUSAPATI : Hamba sejak dini menyadari, bahwa hamba berbeda dalam segala hal dari saudara-saudara hamba. Dalam rupa jasmani, dalam pikiran dan perasaan, hamba sungguh lain dari Adinda Wong Ateleng, Adinda Panji Saprang dan Adinda Agnibaya. Waktu hamba kecil hamba pernah bertanya pada Ibunda, mengapa hamba berbeda. Ibunda menghindarkan diri dari desakan hamba ketika itu. Tapi pada kedatangan beliau ke sini yang terakhir, dengan berurai airmata beliau mengatakan yang sebenarnya. Bahkan beliau memperlihatkan dan memberikan keris yan menewaskan Ayahanda Tunggul Ametung kepada hamba.

MPU PURWA : Sang Buddha perna menyatakan bahwa lewat perempuanlah terutama Siluman Mara menggoda dan menyesatkan manusia.

MPU PAMOR : Bagaimanapun juga, Ken Dedes adalah putrimu, Mpu purwa.

ANUSAPATI : (KEPADA MPU PURWA) Kakeknda pun tidak perlu khawatir, Hamba tidak akan melakukan sesuatu tanpa hamba pikir matang-matang. Ketika Ibunda Ken Dedes memberikan keris itu, tanpa rasa dendam dan bahkan dengan rasa sedih hamba berkata kepada beliau, bahwa baik berita beliau, baik keris yang beliau berikan, semuanya sudah terlambat.

MPU PURWA : Demikianlah kau harus berkata, Cucunda.

ANUSAPATI : Ibunda-pun mengatakan hal yang sama. Beliau berkata, bahwa itulah yang harus hamba katakan setelah hamba belasan tahun berada di Panawijen.

MPU PURWA : Kakenda menyesal harus mengatakan kepadamu, bahwa kematian ayahmu Tunggul Ametung adalah akibat perbuatannya sendiri. Dari kejahatan akan lahir kejahatan. Ayahmu menculik ibumu dari padepokan ketika Kakenda sedang pergi. Pembunuhan terhadapnya adalah hasil perbuatannya, Cucunda.

MPU PAMOR : Dari kejahatan lahir kejahatan, demikian sabda sang Buddha. Demikian pula tertulis dalam Kitab Weda. Artinya, Ken Arok-pun akan dan harus menerima hasil dari perbuatannya membunuh ayahmu, yang tidak punya utang apa-apa kepadanya.

MPU PURWA : Kita tidak berhak membalas kejahatan dengan kejahatan. Hanya kebaikan yang mengalahkan kejahatan. Demikian ajaran sang Buddha.

MPU PAMOR : Membalas kejahatan dengan kebaikan tidaklah berarti membiarkan kejahatan merajalela. Dalam Bhagawad Gita dengan jelas dikemukakan, lawanlah kejahatan, asal perlawananmu demi pelaksanaan dharma juga, dan bukan demi kepentingan diri sendiri.

MPU PURWA : Disitulah masalahnya. Seringkali orang melakukan tindakan yang bertentangan dengan dharmanya dengan menggunakan semboyan pelaksanaan dharma.

MPU PAMOR : Sama seringnya dengan orang yang bersemboyan melawan kejahatan dengan kebaikan untuk menyembunyikan kepengecutan atau sifat mementingkan diri sendiri dan keamanan sendiri.

MPU PURWA : Ah, kita sudah terlibat lagi ke dalam perdebatan-perdebatan yahg tidak ada habisnya. Saya kawatir tidak ada yang diuntungkan, termasuk Cucunda Anusapati. Dia malah akan jadi bingung. Marilah kita beristirahat, Mpu Pamor.

ANUSAPATI : Hamba mohon diperkenankan tinggal di sini barang sejenak, Kakenda.

MPU PURWA : Silahkan,kau sudah dewasa. Kakenda sudah tak senang terlalu banyak mengaturmu. (PERGI)


Adegan 7
Muncul Pembawa Berita.

ANUSAPATI : Ada apa, prajurit?

Pmbw. BERITA : Beberapa orang Desa Batil mohon menghadap. Mereka menunggu sampai kedua Mamanda pergi.

ANUSAPATI : Ah, kawan-kawan lamaku, persilahkan mereka masuk!


Adegan 8
Masuk beberapa orang warga Desa Batil.

ANUSAPATI : Sahabat-sahabatku, apa kabar? Alangkah senangnya saya bertemu kalian kembali.

Org. BATIL I : Semoga Pangeran baik-baik. Kami berada di bawah lindungan Sang Betara Raya.

ANUSAPATI : Syukur. Kalian harus kujamu. Akan tetapi saya dapat menjamu kalian belakangan. Pasti kalian datang jauh-jauh ke sini karena hal penting.

Org. BATIL I : Ampun Pangeran, kami mengganggu pangeran dengan keluh kesah kami.

ANUSAPATI : Lha, ada apa?

Org. BATIL I : Kami datang ke sini mewakili warga Desa Batil yang lain yang sedang ditimpa keprihatinan.

ANUSAPATI : Katakanlah padaku.

Org. BATIL I : Kami memberanikan diri menghadap Pangeran, karena kami tidak punya arah lain tempat kami berpaling, kecuali pangeran.

ANUSAPATI : Kalian adalah sahabat-sahabatku yang baik.

Org. BATIL I : Pangeran Muda, dengarlah keluhan kami. Bertahun-tahun lamanya kami merasa kawatir. Ternyata kemudian kekawatiran kami terjadi. Beberapa bulan yang lalu kerajaan telah mendirikan Rumah Judi dan Rumah Hiburan di sebelah timur Desa Batil. Akibatnya segera berwujud. Banyak keluarga yang jadi melarat karena hartanya ludes di tempat judi. Banyak pemuda yang gelap mata dan jadi perampok atau sedikitnya jadi pencuri. Yang lebih menyedihkan, untuk mengisi Rumah-rumah Hiburan, ponggawa-ponggawa menculik gadis-gadis dan wanita-wanita desa. Memang selama belasan tahun rakyat dibebaskan dari tiga macam pajak yang berat. Akan tetapi kami menyadari sekarang, bahwa kalau disuruh memilih, lebih baik kami membayar pajak dari pada disuruh menerima adanya tempat perjudian dan pelacuran di tempat kami. Oleh sebab itu kami berpaling kepada Pangeran, sebagai putra sulung Sang Prabu.

ANUSAPATI : Jadi kalian bermaksud minta bantuan padaku untuk menyampaikan usul kepada Sang Prabu?

Org. BATIL I : Benar, Pangeran. Para sesepuh desa telah berketetapan hati untuk lebih baik membayar pajak daripada membiarkan malapetaka menimpa warga desa kami.

ANUSAPATI : Bukan warga desa kalian saja, kawan-kawan.
Org. BATIL I : Oh! Tapi ... ... maaf pangeran, kami tidak bermaksud membicarakan kebijakan Ayahanda Pangeran.

ANUSAPATI : Jangan takut, kawan-kawan. Pertama, saya juga tidak setuju dengan kebijakan itu. Saya tidak setuju pada kebijakan yang dapat membuat para pemuda jadi perampok dan pemudi jadi pelacur. Kedua, saya bukan putra Sang Prabu. (ORANG-ORANG BERGUMAM)

Org. BATIL I : Wahai, kami tak menduga Pangeran akan mengatakan hal itu!

ANUSAPATI : Mengungkapkan sesuatu yang sebenarnya sudah ada dalam hati kalian, bukan?

Org. BATIL I : Kami tidak tahu apa yang harus kami katakan, Pangeran.

ANUSAPATI : Kalian harus berani mengatakan apa yang baru saya katakan.

Org. BATIL I : Dalam hati sudah lama kami mengatakan hal itu, Pangeran. Lebih daripada itu, Pangeran.

ANUSAPATI : Ya. Dalam hati kalianpun mengatakan, bahwa Ayahanda Tunggul Ametung dibunuh secara licik oleh Sang Prabu. (ORANG-ORANG BERGUMAM DAN GELISAH)

Org. BATIL I : Wahai! Kiranya Pangeran sudah menduga semuanya. Wahai, betapa hati kami berdarah kembali mengingat Ayahanda Pangeran yang budiman!

ANUSAPATI : Kesedihan kalian yang disebabkan kejahatan keji itu akan membuat kalian mampu memahami kesedihanku. Ingatlah kawan-kawan, walaupun saya tidak pernah mengenal ayahanda, keris yang menusuknya juga menusukku, karena saya adalah darah dagingnya.

Org. BATIL I : Mengapa pangeran tidak mengatakannya dari dulu? Tidakkah Pangeran percaya pada kami? Yakinlah, kami berdiri di pihak Pangeran.

ANUSAPATI : Bukan, kawan-kawan, sekali-kali bukan karena saya tidak percaya pada kalian. Namun masalahnya tidak sesederhana itu.

Org. BATIL I : Pangeran tidak perlu ragu-ragu. Tidak kami saja yang dengan senang hati akan berdiri di pihak Pangeran.

ANUSAPATI : Bukan, sama sekali saya tak ragu-ragu akan kesetiaan kalian. Namun tujuan yang baik harus dicapai dengan cara yang baik. Saya tidak mau membalas kejahatan dengan kejahatan. Juga saya tak mau membalas kejahatan dengan kebaikan. Kita harus membalas kejahatan dengan keadilan, kawan-kawan. Dengan adil kepada penjahat berarti kita sudah berbuat baik, bukan saja kepada penjahat itu, akan tetapi kepada semua.

Org. BATIL I : Kami berada di bawah perintah Pangeran.

ANUSAPATI : Terimakasih atas kesediaan kalian. Kita akan berkeliling kerajaan untuk beberapa tujuan. Akhirnya kita akan tiba di ibukota. (ORANG-ORANG BANGKIT. MEREKA BERGUMAM)
(BLACK OUT)

































B A B A K X I V

Di Keraton Singhasari. Siang hari.


Adegan 1
Hadir Ken Arok, Tita, Bango Samparan, Lohgawe, Ken Umang, gundik-gundik, penjaga-penjaga dan pengikut-pengikut Ken Aro yang lain. Di pentas terdapat tempat-tempat judi dan alat-alat karawitan (Waditra) yang sedang ditabuh. Ada gadis yang sedang menari ditemani pria mabuk. Yang menari, yang judi, yang minum tuak dan mabuk sama sibuknya.

KEN AROK : Aku tambah taruhannya. Kupertaruhkan salah seorang dari gundikku.

PRIA : Tidak, Gusti, hamba tidak terima. Uang saja, Gusti.

KEN AROK : Tidak?kau tidak suka?

KEN UMANG : Kanda, Kanda terlalu mabuk. Istirahat dulu, atau berhentilah minum. Makan sesuatu.

KEN AROK : Siapa yang mabuk? Tidak. ayo putar dadunya.

PRIA : Gusti belum meletakkan taruhannya.

KEN AROK : Mana uangku?

KEN UMANG : Sudah habis.

KEN AROK : Ambil!

KEN UMANG : Tidak, Kanda sudah terlalu lama berjudi. Kanda terlalu banyak minum. Sekarang istirahat dulu.

KEN AROK : Baiklah. Aku menari! He, mana gadis itu? mana gadis yang baru kau bawa dari desa itu? Mana hadiah yang baru kuterima itu! panggil! Suruh dia menari denganku!

TITA : (KEPADA PRAJURIT) Dua orang bawa gadis itu kesini.

PRAJURIT : Baik, Panglima. (PERGI)

KEN AROK : Karawitan, lebih nyaring! (IA MULAI MENARI, WALAUPUN AGAK SEMPOYONGAN KARENA SUDAH MABOK).




Adegan 2
Setelah beberapa lama Ken Arok menari, muncullah dua orang prajurit yang sebelumnya pergi. Mereka memegang seorang gadis dan mendorongnya ke tengah-tengah ruangan.

KEN AROK : Ini dia! Ke sini cantik! Mari menari dengan ku! (KEN AROK AKAN MENJAMAH GADIS ITU, AKAN TETAPI GADIS ITU MUNDUR. KEN AROK TAMBAH BERNAPSU, SAMPIL BERSERU-SERU IA MENCOBA MENANGKAP GADIS ITU. GADIS ITU BERKELIT, LALU BERLARI KE TEMPAT LAIN. KEN AROK MEMBURUNYA. ORANG-ORANG MEMBUAT LINGKARAN AGAR GADIS ITU TIDAK LOLOS. DI DALAM LINGKARAN ITU KEN AROK MEMBURU-BURU GADIS YANG MENJERIT-JERIT DAN MINTA TOLONG. ORANG-ORANG TERTAWA DAN BERSERU: “TANGKAP! TANGKAP!”. KARAWITAN TERUS BERBUNYI. YANG BERJUDI BERHENTI BERJUDI, PARA PEMABUK SEMPOYONGAN INGIN MENYAKSIKAN APA YANG TERJADI)


Adegan 3
Muncul Anusapati diiringkan seorang di antara penduduk Desa Batil. Ia memperhatikan semuanya, lalu membimbing orang Desa Batil. Ia memperhatikan semuanya,lalu membimbing orang Desa Batil itu ke suatu tempat.

ANUSAPATI : (MENCABUT KERIS DAN MENYERAHKANNYA KEPADA ORANG DESA BATIL) Inilah keris Mpu Gandring itu! Tak ada lagi keraguanku. Lakukanlah kehendakmu! (ORANG ITU PERGI. ANUSAPATI TETAP MEMPERHATIKAN PEMANDANGAN YANG TERJADI DI DEPAN MATANYA)


Adegan 4
Akhirnya gadis itu kelelahan dan Ken Arok dapat menangkapnya. Ken Arok berusaha melepaskan pakaian gadis itu, ketika prajurit-prajurit dengan senjata terhunus menyerang dan mulai membunuh hampir semua pria yang ada di sana, kecuali pendeta Lohgawe. Wanita-wanita berjeritan dan berlarian ke sana kemari. Ken Arok di kepung dalam sebuah lingkaran dan ditusuki dengan keris, berulang-ulang. Tapi ia sangat kuat. Akhirnya pembawa keris Mpu Gandring menusuknya. Ken Arok meraung dan mencoba nerkam, tapi ia rubuh dan merangkak, lalu mati.

Org. Ds. BATIL : Telah kubunuh binatang itu! (SEMUA PRAJURIT BERSORAK) Pangeran Anusapati raja kita! (SEMUA BERSORAK. ANUSAPATI DENGAN DIIRINGI OLEH MPU PAMOR BERJALAN KE TEMPAT MAYAT KEN AROK, MEMANDANGNYA)

ANUSAPATI : Binatang ini telah mati. Semoga dengan ini kita-pun telah membunuh binatang yang ada dalam diri kita masing-masing.

ORANG-ORANG : Hidup Prabu Anusapati! (BERULANG-ULANG)

ANUSAPATI : (BERJALAN KE ARAH SINGGASANA DAN BERDIRI DI SAMPINGNYA. PENDETA LOHGAWE BERJALAN DAN MENYERAHKAN LAMBANG PUROHITA KEPADA MPU PAMOR) Kawan-kawan! Dengarkanlah kiranya perkataanku ini. (SUNYI) Roda sejarah harus berputar lagi. Roda sejarah yang telah menggelundung tidak terkendali dan menggilas begitu banyak korban, telah kita tahan. Sekarang kita harus memutarnya kembali dan mengarahkannya ke tujuan yang benar, betapapun tidak jelasnya tujuan itu, betapapun banyaknya silangan jalan. Kendali sejarah berada di tangan kita. Berdirilah kalian di sampingku dan marilah kita menghambur ke masa depan dengan penuh semangat dan ketetapan hati!

ORANG-ORANG : Hidup Prabu Anusapati! Hidup Singhasari! (BERULANG-ULANG)
(BLACK OUT)


L a y a r T u r u n





















K e n A r o k

( Sebuah Sandiwara dalam 14 Babak)
Oleh Saini K.M.

L a t a r B e l a k a n g

Babak I Di latar belakangi sayup-sayup bunyi kentongan tanda bahaya. Bunyi kentongan dimulai pada akhir musik intro dan terus berlanjut sampai pada adegan penusukan oleh Ken Arok. Pada saat itu musik berubah menjadi musik perang yang nyaring. Musik perang semakin gegap gempita pada pergantian babak.

Babak II Dimulai dengan musik bersuasana tenang dan agung. Secara berangsur-angsur muncul disonansi, yaitu mulai pada adegan 2 sampai adegan 3.

Babak III Seperti pada babak II

Babak IV Seperti pada babak II dan III

Babak V Disonansi mulai dimasuki musik bernuansa primitif.

Babak VI Kembali ke musik babak II, III dan IV

Babak VII Musik primitif lebih menonjol disertai pukulan kentongan yang terus-menerus.

Babak VIII Kentongan dengan latar belakang musik primitif.

Babak IX Seperti pada babak VIII.

Babak X Hanya musik primitif saja.

Babak XI Musik agung, tapi dilatar belakangi bunyi kentongan.

Babak XII Hanya musik primitif saja.

Babak XIII Musik rakyat yang humoristik. Pada adegan 5 musik berubah menjadi damai dan kontemplatif, musik yang membawa kesadaran pendengar kepada nilai-nilai spiritual. Pada adegan 7 dan 8 sampai akhir babak, musik perang muncul diiringi suara kentongan yang bertalu-talu.

Babak XIV Musik perang dengan bunyi kentongan yang bertalu-talu. Pada adegan 4 setelah kematian Ken Arok, musik kembali ke suasana agung, yaitu musik keraton seperti awal babak II.

Catatan Selama pementasan, musik tidak pernah berhenti. Musik hanya melemah pada saat adegan-adegan berlangsung agar tidak mengganggu dialog. Pada pergantian babak, musik menjadi nyaring.

D r a m a t i s P e r s o n a e

Ken Arok Penjahat dan kemudian menjadi Raja Singhasari

Tita Sahabat dan pembantu Ken Arok

Bango Samparan Ayah-pungut Ken Arok, seorang penjudi

Kertajaya Raja Kediri

Mahisa Walungan Adik Kertajaya, panglima pasukan Kediri

Gubar baleman Panglima pasukan Kediri

Mahisa Taruna Perwira dalam pasukan Kediri

Mpu Narayana Menteri Kertajaya

Mpu Aditya Menteri Kertajaya

Mpu Pamor Pendeta kerajaan Kediri yang kemudian
mengasingkan diri ke Panawijen

Mpu Sridhara Pendeta Kerajaan Kediri yang kemudian
mengasingkan diri ke Tumapel

Lohgawe Pendeta yang datang dari Jambudwipa, ayah angkat Ken Arok

Tunggul Ametung Akuwu Tumapel

Ken Dedes Istri Tunggul Ametung yang kemudian menjadi istri Ken Arok

Mpu Purwa Ayah Ken Dedes, seorang pendeta Buddha dari Panawijen

Mpu Gandring Seorang pandai keris yang menjadi korban Ken Arok

Anusapati Anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung

Punta, Prasanta dan Juru Deh Tiga orang punakawan Anusapati

Orang Desa Batil Anak buah Anusapati
Prajurit-prajurit, emban-emban, gadis-gadis,
pembawa berita, pembawa beban, dsb.



















KEN AROK
Sebuah Sandiwara dalam 14 Babak
Oleh Saini K.M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar